Dari lantai 5 Kyriad Muraya Hotel Aceh, saya menyaksikan
rutinitas kota Banda Aceh menjelang senja.
Di garis batas traffic light Simpang Lima, setiap pengemudi bersabar
menanti gilirannya. Ada juga yang tergesa-gesa menerobos lampu merah. Kota ini tampak sibuk.
Home
Archive for
2017
Saya kira, sudah saatnya untuk bertransformasi dari kamera HP
ke kamera yang lebih canggih. Selama ini foto-foto yang saya tampilkan di blog berasal
dari kemera smartphone saja.
Hasilnya memang bagus. Tapi, pada kondisi tertentu, saya
merasa kesulitan mengambil gambar. Bagaimanapun juga kamera HP punya
keterbatasan.
Bondan Winarno (Sumber foto: duniaku.net) |
Bondan Winarno telah
tiada. Kepergiannya cukup mengejutkan. Tak ada lagi tulisan menarik yang
dituliskannya. Tak ada lagi narasi “maknyus yang selalu dinikmati pembacanya.
Saya hampir tak percaya saat mendengar kabar Bondan Winarno
telah tiada. Berita duka ini pertama kali saya ketahui diakun Twitter salah
seorang tokoh politik Indonesia. Mendengar kabar itu, saya pun langsung menuju
akun instagram Pak Bondan, begitu ia kerap disapa.
Doa serta kata-kata belasungkawa ternyata telah mewarnai
akun penggiat kuliner ini.
Pukul 11 siang pesawat melintas di langit Kampung Durian.
Melintasi sawah di kampung saya. Bagi Emak, setiap kali pesawat melintas adalah
pertanda waktunya istirahat sejenak di sawah.
Pesawat yang melintas itu telah menjadi alarm bagi Emak. Penanda
berhenti sebentar lalu bekerja kembali hingga Zuhur.
“Ye tando nye udah
pukol sebeleh (Itu tandanya sudah pukul sebelas),” jelas Emak dengan bahasa Aceh Tamiang.
source:kota.surakarta.go.id
|
Tidak hanya memiliki Keraton Surakarta dan Mangkunegaran yang megah. Kota Solo juga memiliki tempat wisata lainnya
yang menarik. Salah satunya adalah Taman Balekambang. Destinasi pilihan yang murah meriah di Kota Batik.
Taman Balekembang terletak di Jl.
Balekambang No.1, Manahan, Solo. Setiap harinya ada ribuan wisatawan yang berkunjung ke
tempat wisata di Solo ini. Tidak hanya warga sekitar, tapi juga rombongan turis
dari dalam dan luar negeri sangat tertarik untuk menikmati cantiknya taman ini.
Inilah Aceh Tamiang
Berbahasa Tamiang
adalah cara menjaga identitas. Zaman boleh berubah, tapi bahasa ini harus tetap
terjaga eksistensinya. Hanya saja, tanggung jawab moral ini terasa sulit. Jika
orang Tamiang sendiri, tak ada lagi kebanggaan dalam menuturkannya.
Seorang ibu penjual lontong di kampung saya, Kampung Durian, terkejut saat saya berbicara dengan Bahasa Tamiang. Setelah sekian lama di perantauan, dikiranya saya sudah lupa atau merasa enggan bertutur kata dengan bahasa tanah kelahiran saya itu.
“Mantang endak engko cakap Tamiang, biasonye ukhang mu udah mekhanto mano endak
lagi, (Masih mau kamu bicara Tamiang, biasanya orang kalau sudah merantau
mana mau lagi),” ungkapnya.
“Ah, mae pulo tak endak,
(Ah kenapa pula tak mau),” jawab saya.
Ibu itu pun bercerita, tentang anak-anak di Kampung Durian
yang mulai enggan berbahasa Tamiang. Mereka yang pulang dari perantauan pun
serasa kehilangan identitasnya. Tak mampu lagi bertutur kata dengan bahasa
Tamiang.
Apa yang digelisahkan Ibu itu, memang benar. Saya menyaksikan
sendiri, sulit sekali menemukan anak-anak kecil di kampung kami yang bisa
berbahasa Tamiang.
Saya tidak tahu, apakah di rumah mereka memang tidak dibiasakan berbicara dengan bahasa Tamiang. Paling tidak dengan orang tua ataupun anggota keluarganya. Padahal, lingkungan keluarga adalah tempat yang paling efektif mengenalkan bahasa ini.
Saya tidak tahu, apakah di rumah mereka memang tidak dibiasakan berbicara dengan bahasa Tamiang. Paling tidak dengan orang tua ataupun anggota keluarganya. Padahal, lingkungan keluarga adalah tempat yang paling efektif mengenalkan bahasa ini.
Kalau di keluarga saya, kami memang terbiasa menggunakan bahasa Tamiang. Termasuk dengan saudara Abah lainnya. Terkadang, hal ini pula
yang menjadi kebahagiaan saya saat pulang kampung. Dahaga untuk bertutur kata dengan bahasa daerah terobati.
Bagi saya, bertutur kata dengan bahasa Tamiang itu ada sensasi
bahagianya sendiri. Apalagi kalau bercanda, orang Tamiang pintar sekali
merangkai kata yang memancing imajinasi kita untuk tertawa.
Pakcik saya adalah contohnya. Jika ia sudah datang ke rumah, maka kami pun
tak kuasa menahan tawa mendengar ceritanya. Sampai-sampai tak sadarkan waktu
sudah larut malam.
Terkadang, materi ceritanya sederhana saja. Tentang keseharian, pengalamanya mencari ternak. Namun karena
dirangkai dengan dialek Tamiang yang unik, maka cerita tersebut terasa
istimewa.
Saya teringat ketika banjir besar yang melanda kampung kami
pada 1996 silam. Saat itu semua penduduk Kampung Durian mengungsi ke tempat
paling tinggi di kampung kami, yaitu Bukit Kuburan Cina.
Pakcik saya (berpeci putih), caranya bertutur selalu saja memancing tawa |
Saat malam kian larut, saya mendengar suara orang tertawa
terbahak-bahak di bawah tenda pengungsi. Sontak saya terbangun. Telinga terasa
tak asing dengan sumber suara. Saya pun mendekat.
Benar dugaan saya, di sana sekelompok orang sedang khusyuk
menyimak cerita dari sosok yang begitu saya kenal. Pakcik saya telah berhasil
membuat seisi tenda tak tidur hingga tinggi
malam.
Bahasa Tamiang memiliki
cita rasa seni yang tinggi
Orang Aceh Tamiang
dikenal memiliki makna yang dalam
saat bertutur. Tata bahasa mereka yang santun dan sangat menjaga adab, seolah
menjelaskan betapa arifnya masyarakat Negeri Bumi Muda Sedia ini.
Menurut saya, hal seperti ini adalah salah satu khazanah Budaya Aceh yang harus terus dilestarikan.
Menurut saya, hal seperti ini adalah salah satu khazanah Budaya Aceh yang harus terus dilestarikan.
Orang Tamiang sangat menjaga adab |
Sebagai contoh, dalam bercanda, memberi nasihat atau
bercerita orang Tamiang terkadang gemar sekali menggunakan istilah-istilah.
Kata-kata yang penuh maksud itu tak sekadar ucap, tapi memiliki pesannya
tersendiri. Bahkan kata yang paling kasar sekali pun, terkadang masih terasa
beradab.
Cerita Pakcik saya adalah contoh kecil, bagaimana Bahasa
Tamiang menjadi identitas dirinya. Menjadi kebanggaan dalam hidupnya. Dari caranya bertuturlah, orang kemudian mengenalnya.
Bahasa Rumpun Melayu
Bahasa Tamiang adalah salah satu bahasa daerah di Aceh.
Penuturnya banyak di wilayah timur Aceh yang berbatasan dengan Sumatra Utara.
Sepintas, Bahasa Tamiang memang mirip Bahasa Malaysia. Karena keduanya berasal
dari garis yang sama yaitu rumpun Melayu.
Maka ketika menonton film Upin Ipin, saya merasa anak-anak
lucu itu berasal dari Kampung Durian, eh dalam cerita setting-nya memang Kampung Durian yah.
Meskipun demikian, Bahasa Tamiang di Kabupaten Aceh Tamiang
juga terbagi dua yaitu Tamiang Hilir dan Hulu. Perbedaan keduanya terlihat dari
dialek bicara serta pemilihan suku katanya.
Misal, untuk menyebut kata “tidak ada” adalah “cadok” untuk Tamiang Hulu. Sementara
Tamiang Hilir adalah “cadee”. Jadi dari cara bertuturnya saja, kita bisa
mengetahui dari mana seseorang berasal.
Tamiang Hulu terasa lebih halus, sementara Tamiang Hilir
cenderung menggunakan vokal “E” dalam setiap pilihan katanya. Nah, kalau kita perhatikan, Tamiang Hilirlah yang terasa lebih dekat dengan Bahasa Malaysia. Saya kira, hal ini tidak lepas
dengan letak geografis penuturnya yang berada di garis pantai dekat Selat
Malaka.
Bahasa Tamiang saya termasuk golongan Tamiang Hulu, yang
sebarannya meliputi Kecamatan Rantau, Kejuruan Muda, Kuala Simpang, Karang Baru
dan Tamiang Hulu.
Sementara Tamiang Hilir meliputi Kecamatan Seruway dan
Bendahara. Dan sebagiannya juga ada di Kecamatan Manyak Payed, Karang Baru dan
Rantau.
Di tengah masyarakat Tamiang yang tergolong heterogen. Bahasa Tamiang adalah penegas. Beragam suku berkumpul di negeri Bumi Muda Sedia ini mulai Aceh, Jawa, Minang, Melayu serta Tionghoa. Meskipun dihuni multi etnis dan suku, masayarakat Tamiang tetap hidup dengan rukun. Tak pernah ada konflik yang berarti terjadi di daerah ini.
Di tengah masyarakat Tamiang yang tergolong heterogen. Bahasa Tamiang adalah penegas. Beragam suku berkumpul di negeri Bumi Muda Sedia ini mulai Aceh, Jawa, Minang, Melayu serta Tionghoa. Meskipun dihuni multi etnis dan suku, masayarakat Tamiang tetap hidup dengan rukun. Tak pernah ada konflik yang berarti terjadi di daerah ini.
Di tengah masyarakat yang heterogen, berbahasa Tamiang adalah cara menjaga identitas diri |
Dalam keberagaman itulah, bahasa Tamiang harus tegas dengan
identitasnya. Maka anak-anak Tamiang, semestinya tak perlu malu bertutur kata
dengan bahasa Tamiang. Mereka harus berani menunjukkan jati dirinya.
Sebagai khazanah bangsa, sudah semestinya bahasa Tamiang
dijaga eksistensinya. Saya kira, Suku Tamiang adalah pihak pertama yang paling
bertanggung jawab secara moral menjaga kelestarian bahasa ini. Tak mungkin
mengharapkan suku lain untuk menjaga kelangsungan identitas Tamiang.
Hanya saja beban moral ini semakin sulit, jika generasi
Tamiang sendiri mulai enggan bertutur dengan bahasanya. Merasa asing dengan
identitasnya sendiri. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin Bahasa
Tamiang nantinya hanya tinggal nama.
Anak-anak Tamiang harus mulai dibiasakan bertutur dengan bahasa tanah kelahirannya ini. |
Eksistensi bahasa Tamiang ini memang harus menjadi tanggung jawab bersama. Caranya,
bisa di mulai dari lingkungan keluarga. Para orang tua harus mulai membiasakan
bertutur kata dengan anak-anaknya menggunakan bahasa Tamiang.
Tanamkan kebanggaan dalam diri mereka saat berbicara menggunakan bahasa Tamiang. Berikan pemahaman, bahwa di tangan merekalah masa depan bahasa ini selanjutnya. Tak perlu merasa malu, tak perlu merasa rendah diri.
Mudah-mudahan,
meskipun mereka nantinya pergi merantau jauh. Saat kembali ke tanah
kelahirannya, hal pertama yang paling dirindukannya adalah bertutur kata dengan bahasa Tamiang.
Maafkan tulisan tangan saya yang alakadarnya 😂 |
Tsunami 2004 silam telah meluluhlantakkan Ulee Lheue. Ribuan nyawa lenyap.
Kini, Ulee Lheue bangkit lagi. Seperti dulu, tempat ini masih menawarkan senja yang menawan. Namun tetap saja, ada cerita yang tak boleh kita lupakan
Semenjak pindah rumah kontrakan
dari Ceurih ke Punge Jurong, destinasi akhir pekan saya dan istri pun turut berpindah.
Dulu, kami biasa jalan-jalan sore menelusuri jalanan Gampong Lam Ateuk hingga Blang
Bintang.
Makan rujak Aceh di samping pagar
Bandara Sultan Iskandar Muda. Memicingkan mata saat pesawat mendarat yang
jaraknya hanya beberapa puluh meter saja.
Tapi kini, cerita akhir pekan
kami pun berbeda.
Sail Sabang akan
digelar November 2017 ini. Para yachter dari berbagai dunia siap berlabuh di Sabang. Pemerintah pun berbenah. Inilah momentum yang tepat untuk kenalkan wisata
bahari Sabang pada dunia
Saya tersenyum saat Laksamana TNI (Purn) Dr. Marsetio,
menyanyikan lagu Nenek Moyangku Orang Pelaut karangan Ibu Sudibyo. Kepala Staf
TNI Angkatan Laut priode 2012 – 2015 itu
hadir di Aceh untuk memberikan kuliah umum.
Secara tak sadar saya pun mengikuti lirik lagunya. Saya tak
ingat, kapan terakhir kali menyanyikan lagu ini. Namun yang jelas, hari itu,
lagu tersebut telah membangkitkan romantisme masa lalu dalam diri saya tentang
kejayaan maritim Indonesia.
Di saat gulita masih menyelimuti belahan bumi lain. Pagi telah tiba di Gunung Sindoro. Ketika mentari merekah, tampaklah indahnya alam Indonesia. Pada pagi yang dingin itu, saya tersenyum sendiri, saat menikmati cantiknya Indonesia di waktu Pagi
Keheningan menyelimuti Gunung
Sindoro. Hanya terdengar desiran angin yang bertiup dari lereng gunung. Saya
merapatkan kembali jaket agar sejuknya tidak kian menusuk di badan. Malam itu,
setapak demi setapak saya melangkahkan kaki. Menembus malam yang diselimuti kabut
Sindoro yang kian pekat.
Mengabadikan perjalanan dengan kamera adalah suatu hal yang menarik. Meskipun itu bukanlah jaminan agar perjalanan jadi berkesan. Karena setiap orang punya caranya sendiri, bagaimana semestinya menikmati perjalanan
Tempo hari saya dan istri merayakan salah satu momen paling
istimewa dalam hidup kami. Malamnya, saya mengusulkan untuk merayakan hari yang
berkesan itu dengan jalan-jalan ke tempat wisata.
Istri sepakat, kami akhirnya memutuskan untuk mengunjungi salah satu destinasi wisata di Aceh Besar. Pagi sekali, istri sudah menyiapkan bekal karena rencananya kami akan sarapan di tepi laut.
Istri sepakat, kami akhirnya memutuskan untuk mengunjungi salah satu destinasi wisata di Aceh Besar. Pagi sekali, istri sudah menyiapkan bekal karena rencananya kami akan sarapan di tepi laut.
Di momen yang sangat istimewa itu, tentu ada banyak hal yang
semestinya terabadikan dalam lensa kamera.
Rajab Bahry (Foto Istimewa) |
Hari-hari paling berat bagi Rajab Bahry adalah saat dirinya tak lagi menarikan Saman. Puluhan tahun ia mendedikasikan hidupnya pada Saman. Rajab pun harus berbesar hati, saat Saman harus berhenti di garis keturunannya sendiri.
Rajab Bahry tidak ingat kapan pertama kali ia belajar Saman. Sebab sejak kecil ia sudah terbiasa bermain Saman. Di balai-balai desa ia berlatih. “Seperti orang Aceh makan plik u, siapa yang ingat pertama kali memakannya?” Ujarnya.
Saman adalah kebanggan dari masyarakat Gayo. Maka di mata Rajab Saman tak sekadar tarian.
“Dulu, kalau orang Gayo tidak bisa bermain Saman. Rasanya ada yang kurang,” ungkap lelaki kelahiran 30 Desember 1955 ini.
Darah penari Saman telah mengalir dalam diri Rajab. Ayahnya adalah penari Saman begitu pula tiga saudara lelakinya. Hampir seluruh hidupnya melekat pada Saman. Saman pula yang membawa dirinya di hadapan presiden Soeharto, hingga menapakkan kaki di Amerika.
Rajab bercerita, meskipun Saman telah menjadi keseharian masyarakat Gayo, namun orang luar baru mengenal tarian yang ditetepakan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda ini tahun 1972, yaitu saat pelaksanaan PKA ke II.
Mendengarkan cerita hidup Rajab Bahry tentang Saman di ruang kerjanya (Foto by: Syahri Afrizal) |
Saman ketika itu menjadi tarian favorit. Menteri Penerangan kala itu Budiardjo sampai terpesona melihat harmoninya gerakkan penari Saman.
“Di Aceh itu orang menarinya sampai seribu!” Rajab menirukan ucapan Boediardjo. Sejak itulah Saman dikenal sebagai tari tangan seribu. “Bukan seribu tangan ya!,” tegas Rajab.
Lalu saat peresmian Taman Mini di Jakarta tahun 1974. Para penari Saman di Aceh Tenggara diundang. Ibu Tien Soeharto begitu kagum melihat eksotisnya tarian ini. Saman pun semakin dikenal publik.
“Waktu itu saya belum ikut, abang saya yang ikut,” kata Rajab.
“Waktu itu saya belum ikut, abang saya yang ikut,” kata Rajab.
Tahun 1975 barulah kesempatan datang kepada Rajab. Saat itu Pemerintah Pusat meminta 30 orang penari untuk tampil pada peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 30 di Istora Senayan. "Padahal Saman itu semestinya ganjilkan?" Selanya.
Ada cerita menarik kala itu, yaitu pihak panitia sengaja merahasiakan jumlah penari yang akan dibawa ke Jakarta. Maka Rajab dan teman-temannya terus berlatih tanpa kepastian. Setiap akan berlatih mereka terlebih dahulu pergi ke studio foto milik orang Gayo yaitu Ceding Ayu. Sebab di sanalah diumumkan nama-nama yang terpilih.
Ada cerita menarik kala itu, yaitu pihak panitia sengaja merahasiakan jumlah penari yang akan dibawa ke Jakarta. Maka Rajab dan teman-temannya terus berlatih tanpa kepastian. Setiap akan berlatih mereka terlebih dahulu pergi ke studio foto milik orang Gayo yaitu Ceding Ayu. Sebab di sanalah diumumkan nama-nama yang terpilih.
“Kalau ada nama kalian di dinding, nah pergilah latihan,” kenang Rajab.
Hingga minggu terakhir latihan, barulah rahasia ini diumumkan. Rajab sampai bengong, ia hampir tak percaya namanya tertulis di dinding tersebut. Itulah pertama kalinya Rajab tampil di tingkat nasional dan disaksikan oleh Presiden Soeharto.
“Perasaan saya waktu itu gugupnya bukan main, foto saya macam orang penakut, takut salah,” ungkapnya.
Silahkan Baca Juga: 90 Saman sebelum 10000 Saman: Pesan Konservasi dari USAID Lestari
Sejak hari itu Rajab menjadi pemain inti Penari Saman Aceh Tenggara. Ia berulang kali tampil di pentas nasional, seperti Festival Tarian Rakyat tahun 1977 dan Festival Tarian Internasional tahun 1978.
“Jadi waktu masih nganggur, saya sudah tiga kali ikut mewakil Aceh pada acara Saman tingkat nasional,” ucapnya sambil tertawa.
Sejak itu pula Saman tak terpisahkan dari hidup Rajab. Bahkan saat kuliah di Banda Aceh Rajab selalu tampil di Taman Budaya. Tahun 2012 Rajab kembali dipercaya tampil di Hawai University mewakili Unsyiah dalam kegiatan Muhibbah Seni.
Ternyata, itulah terakhir kalinya Rajab menarikan Saman. Kondisinya fisiknya yang lemah menjadikan Rajab tak segesit dulu lagi. Bahkan, saat Pemerintah Gayo Lues memintanya secara khusus untuk tampil memecahkan rekor 10.000 penari Saman beberapa waktu lalu. Rajab dengan halus menolaknya.
“Ini mau pecahkan rekor, lalu tiba-tiba saya tumbang. Bisa negatif rekornya, kan repot?” Ujarnya.
Meskipun tak lagi menarikan Saman, kecintaan Rajab pada Saman tak pernah hilang. Ia selalu bersedia memberikan informasi kepada siapapun yang ingin bertanya tentang Saman. Rajab juga telah menulis konsep orsiniltas Saman, tulisan tersebut telah dibagikan oleh Pemda Gayo Lues ke masyarakat agar Saman terus lestari.
Atas semua dedikasinya pada Saman. Ternyata diam-diam Rajab menyimpan kerinduan lain yaitu masa depan Saman dalam garis keturunannya.
“Diturunan saya sendiri. Stop! Saman tidak ada lagi,” ungkapnya.
Hal ini tidak lepas bahwa istrinya adalah orang Minang, dan kini bersama tiga orang anaknya menetap di Jakarta, sehingga Rajab harus berbesar hati bahwa tak ada keturunannya yang menari Saman.
“Sering saya menangis kalau lihat anak-anak muda menari Saman. Oh, andaikan itu anak-anak saya,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Maka Rajab terus berjuang agar Saman tak hilang. Ia senang jika saat ini Saman telah dikenal luas, dan siapapun kini bisa menarikan Saman. Menurutnya, Saman bisa seperti ini karena disenangi banyak orang.
Diam-diam Rajab Bahry menyimpan kerinduan lain pada Saman |
Hanya saja, Rajab berharap Saman tak hilang di tanah asalnya sendiri yaitu Gayo Lues. Begitu pula nilai-nilai yang terkandung pada Saman itu sendiri. Sebab Rajab khawatir, di dunia yang makin global sekarang sikap pragmatis menjadi ancaman rusaknya nilai-nilai Saman.
“Sekarang kalau mau tampil saya dibayar berapa? Maka orang menilai Saman itu tidak lagi seperti dulu. Makanya waktu festival Saman di PKA dulu jurinya saya. Haruslah saya kembalikan ke dasar,” ujarnya.
Niat baik Rajab untuk mengembalikan Saman seperti asalnya, memang tak selalu mendapatkan sambutan baik. Rajab kerap mendapatkan tudingan negatif oleh orang Gayo Lues sendiri. Apalagi ketika ia mengajarkan Saman kepada orang-orang non Gayo Lues.
Kegelisahan inilah yang menyelimuti hati Rajab. “Maka banyak orang menilai, Saman itu tidak seperti dulu lagi,” ujarnya.
Untuk itulah, saat Rajab menjadi Juri Festival Saman pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) dulu, ia pun berupaya mengembalikan Saman ke dasarnya. Rajab menuliskan konsep Saman yang sebenarnya lalu mengirimkankannya ke daerah-daerah termasuk ke Gayo Lues.
“Saya berusaha mengembalikan Saman itu seperti Saman yang asal, sehingga anak-anak itu tahu yang aslinya Saman itu seperti apa?” ungkap Rajab.
Ironisnya, Tim Gayo Lues saat itu hanya berhasil meraih juara tiga. Penyebabnya, karena urutan tarian Saman mereka keliru.
Ironisnya, Tim Gayo Lues saat itu hanya berhasil meraih juara tiga. Penyebabnya, karena urutan tarian Saman mereka keliru.
“Saya sudah buat dan kirimkan aturannya ke Gayo Lues. Berartikan mereka sudah lihat tapi tidak sesuai. Urutan mereka salah. Gohlom (sebelum) Allahu Akbar, sudah Al fatihah,” kata Rajab.
Puluhan Tahun Mendedikasikan Hidupnya pada Saman |
“Kenapa kamu ajarkan Saman kepada orang lain, nanti lebih hebat mereka daripada kita?” Rajab menirukan kalimat seseorang yang memarahinya.
Namun bagi Rajab, tudingan seperti itu dianggapnya angin lalu saja. Kecintaan Rajab pada Saman telah membesarkan hatinya. Karena menurutnya, yang paling penting saat ini adalah Saman tidak boleh hilang. Seperti yang terjadi pada garis keturunannya.
ASUS VivoBook S S510 |
Hidup yang dinamis dan penuh gairah, adalah ciri khas para traveler. ASUS
pun memahami karakter tersebut dengan menghadirkan VivoBook S S510. Setiap
keunggulannya adalah alasan bagi traveler
untuk memilihnya.
Dunia traveling sekarang lebih dari sekadar melakukan perjalanan. Bagi
sebagian orang, travelling telah
menjadi gaya hidup. Banyak orang yang telah mendedikasikan hidupnya sebagai traveler. Menyisihkan tabungannya untuk mengunjungi
destinasi impian.
Menariknya, tak sedikit pula orang yang menjadikan
traveling sebagai jalannya untuk
mendapatkan penghasilan. Mobilitas yang tinggi, menyukai tantangan, hidup yang
dinamis serta penuh gairah adalah ciri khas para traveler.
Meskipun dalam perjalanan, mereka
tetap berkarya ataupun menuntaskan pekerjaannya. Seperti para travel writer, yang ingin segera
mengabadikan momen perjalanannya dalam sebuah tulisan.
Maka wajar, jika para traveler membutuhkan sebuah notebook yang sesuai untuk mendukung
pekerjaannya. Notebook yang powerful
sekaligus mudah dibawa dalam perjalanan.
Kabar baik itu akhirnya tiba.
Pada 15 Agustus 2017 lalu, melalui ajang The Edge of Beyond yang digelar di
Hotel Pullman, Jakarta. ASUS memperkenalkan produk terbarunya yaitu ASUS VivoBook S S510. Jika kita
perhatikan semua keunggulannya, generasi baru Asus VivoBook ini adalah pilihan
yang tepat bagi traveler.
Berbagai kendala yang kerap traveler alami selama perjalanan,
dijawab ASUS melalui ASUS VivoBook S
S510 ini. Nah, berikut ini adalah
lima alasan ASUS VivoBook S S510 menjadi pilihan tepat untuk para traveler.
Pertama, Spesifikasi ASUS VivoBook S S510 Mendukung Kinerja yang Optimal
Spesifikasinya seperti apa? Adalah pertanyaan mendasar setiap orang yang
ingin membeli notebook. Begitu juga para traveler,
sebab mereka mengerti notebook seperti apa yang layak menemani perjalanannya.
Dengan harganya yang kompetitif, notebook
ASUS seri terbaru ini ternyata sudah memiliki prosesor
Intel Core i5 generasi ke-7. Spesifikasi seperti ini sangat cocok untuk traveler
yang membutuhkan performa notebook yang optimal. Seperti untuk mengedit foto,
video ataupun berkreasi dengan dokumentasi yang mereka temukan dalam
perjalanan.
Kinerja notebook juga lebih gesit karena ASUS
VivoBook S S510 ini memiliki RAM 4GB
DDR3L yang kecepatannya adalah 2133MHz. Belum lagi dengan
dukungan grafis Nvidia
GT940MX 2GB VRAM, menjadikan tampilannya lebih hidup dan nyata
sehingga secara tak langsung memicu kreativitas para traveler dalam berkarya.
Kedua, Space Memory yang Besar untuk Menyimpan Dokumentasi Perjalanan
Keunggulan lain yang
patut menjadi perhatian para traveler adalah space memory yang tersedia. Hal ini penting, sebab biasanya para
traveler ingin mengabadikan momen sebanyak mungkin yang mereka temukan. Memori
kamera yang sudah full, rasanya ingin
segera dikosongkan agar bisa mengisikan dokumentasi perjalanan lainnya.
Nah, jika perjalanan kita
ditemani ASUS VivoBook S S510 maka permasalahan penyimpanan data ini
bisa teratasi. Sebab notebook ini memiliki storage
sebesar 128 GB untuk SSD dan 1 TB untuk HDD. Size yang cukup besar untuk mengamankan data-data penting
perjalanan. Kita pun tak perlu repot-repot harus membawa hardisk yang justru hanya menambah beban perjalanan.
Ketiga, Body yang Ramping dan Ringan Membuat Perjalanan Lebih Nyaman
Salah satu keunggulan lain dari ASUS
VivoBook S S510 adalah layarnya yang
berukuran 15 inci. Ukuran layar yang lebar sebenarnya sering menjadi dilema bagi traveler. Pasalnya, mereka ingin
tampilan yang lebih luas untuk mendukung kinerja, namun di sisi lain mereka juga ingin layar yang minimalis agar lebih
mudah dibawa.
ASUS
pun memahami pilihan yang rumit tersebut. Maka untuk notebook seri terbaru ini ASUS
menawarkan solusi yang menarik, yaitu meskipun bentangan layarnya 15 inci, tapi
untuk bentang chassis-nya berukuran seperti notebook 14 inci pada umumnya.
Hal inilah yang menjadikan Asus
VivoBook S S510 mulai dikenal publik
sebagai notebook 15 inci namun berukuran 14 inci. Notebook berukuran tipis ini
pun mudah dibawa karena beratnya hanya 1,7 Kg serta ketebalannya pun cuma 1,79
cm.
Keempat, Konektivitas yang Gesit
Tantangan para traveler adalah keterbatasan waktu.
Dalam perjalanan mereka terbiasa untuk mengoptimalkan waktu yang tersedia. Di
ruang tunggu bandara misalnya, waktu yang kosong tersebut harus bisa
dimanfaatkan sebaik mungkin.
ASUS VivoBook S S510 memahami
betapa pentingnya efisiensi waktu bagi traveler. Untuk itulah, demi urusan
kecepatan konektivitas ini ASUS pun telah menyiapkannya sedemikian rupa. Seperti
USB 3.1 dengan konektor USB Type-C reversible. Dengan dukungan desain any-way-up, membuat perangkat
penghubungnya menjadi lebih simple
dan gesit.
Selain itu, USB 3.1 ini juga
mampu memberikan kecepatan transfer data hingga 5 kali lebih cepat dari koneksi
USB 2.0 lama. Perpindahan data yang besar pun bisa kita lakukan lebih cepat
meskipun kita hanya memiliki waktu yang terbatas.
Untuk fungsi yang lebih luas dari
USB 3.1 ini, maka slot kartu HDMI dan slot SD card yang tersedia pada ASUS S
S510 ini juga turut mendukung kompatibilitas dengan berbagai macam periferal,
display dan proyektor.
Untuk urusan daya, notebook
minimalis ini pun tergolong tangguh sebab mampu bertahan 8 jam dan fast charging. Jadi, saat dalam
perjalanan traveler tak perlu risau
harus mencari colokkan selama 8 jam kedepan hehe…
Kelima, Desain Body yang Mewah dan Elegan
ASUS adalah produsen yang
konsisten mengkombinasikan performa yang optimal dengan desain yang mewah. Maka
wajar saja, jika memiliki produk ASUS rasanya ada kebanggaan tersendiri. Begitu
pula dengan ASUS VivoBook S S510 ini, yang memiliki bezel NanoEdge 7,8mm yang tipis serta finishing logam yang sempurna. Warna Icicle Gold yang menyelimuti body,
kian membuat ASUS VivoBook S S510 tampak mewah dan elegan.
Para traveler pun menjadi lebih percaya diri saat membuka layar notebook
ini di manapun mereka berada. Tampilanya yang eksklusif tersebut sekaligus
menjadi penegas, bahwa traveller juga
memiliki cita rasa yang tinggi.
ASUS VivoBook S S510 juga kian
eksklusif karena telah dilengkapi sensor
fingerprint, sehingga data-data yang kita simpan lebih terjamin
keamanannya. Masalah privasi ini adalah sesuatu yang sangat penting bagi traveler.
Sebab perjalanan, bagaimanapun
menariknya selalu punya risiko. Maka melalui sensor fingerprint ini, ASUS ingin meminimalisir
kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja traveler hadapi selama dalam perjalanan.
Inilah beberapa keunggulan yang
dimiliki ASUS VivoBook S S510. Setiap keunggulannya berupaya menjawab
permasalahan yang kerap dialami para traveler.
Maka, tak salah kalau Regional
Director ASUS South East Asia Benjamin Yeh, mengatakan, kalau notebook ini memang dirancang untuk orang-orang yang
aktif dan hidup penuh gairah. Karakter yang secara spesifik juga mencirikan
para traveler.
“Mereka ini umumnya adalah kalangan yang
aktif, dinamis dan penuh gairah, menginginkan perangkat atau gadget yang
premium untuk mendukung aktivitas dan gaya hidup sehari-hari tetapi tetap harus
ramah dari sisi budget,” ujar Benyamin.
Bagaimana para traveler? Siapkah membawa ASUS
VivoBook S S510 untuk menemani perjalanan?
*Tulisan Ini Diikutsertakan dalam Asus VivoBook Surprise Writing Competition
Gunung Rinjani adalah impian para
pendaki. Saya yakin, sekalipun semua gunung di Indonesia telah kita daki namun melewatkan gunung di Nusa Tenggara Barat ini, rasanya tetap ada yang kurang.
Kegelisahan itulah yang menyelimuti hati saya pada suatu sore yang dingin di
Jakarta.
Gerimis membasahi Ibu Kota
Jakarta sore itu. Dari lantai tiga ruang kerja, saya menatap bulir-bulir hujan
yang merambat pada dinding kaca. Sambil menyeruput kopi, tiba-tiba kerinduan
untuk menapaki Rinjani hadir kembali. Mendesis seperti gerimis di luar sana.
Keinginan mendaki Rinjani
sebenarnya sudah lama bersemayam dalam diri saya. Namun, karena jaraknya yang
sangat jauh, biaya yang lumayan serta belum adanya teman yang mau diajak traveling ke Lombok, maka kerinduan itu
hanya sebatas angan-angan.
Sore itu, saya pun browsing foto-foto Gunung Rinjani di
internet. Setidaknya, dengan melihat keindahan Rinjani kerinduan saya sedikit
terobati. Ah keliru, foto-foto yang
muncul malah membuat saya semakin kangen
Rinjani.
Danau Segara Anak yang tenang,
bunga-bunga edelweis yang tumbuh di lereng gunung, Gunung Barujari yang
dipayungi langit biru serta pose para pendaki di puncak Rinjani. Semua tampilan
itu seolah telah berkonspirasi, mendesak saya untuk segera melihatnya langsung.
Rinjani dengan segala pesonanya |
Lalu entah mengapa, tiba-tiba
terlintas di benak saya. “Mengapa tidak mencari teman saja di media sosial?”
Aha, mengapa ide ini baru terpikirkan sekarang?
Aha, mengapa ide ini baru terpikirkan sekarang?
“Ada rencana yang mau ke Rinjani
dalam waktu dekat?” Tweet saya di
akun medsosnya komunitas pendaki gunung.
Ada banyak balasan, namun semua
juga masih seperti saya. Baru sebatas rencana. Lalu saya tertarik pada satu
akun bernama Fahmi yang tampaknya lebih siap. Sebab ia sudah memesan tiket pesawat bersama temannya, Sidiq.
Saya pun memesan tiket pesawat dengan mencocokkan tanggal serta nomor penerbangan yang akan mengangkut kami ke
Lombok. Jujur saja, ini adalah rencana traveling
paling berisiko yang pernah saya lakukan. Perjalanan yang jauh seperti ini justru
saya lakukan bersama orang yang asing. Semuanya hanya modal kepercayaan.
Di Bandara Soekarno Hatta, barulah
saya benar-benar bertemu Fahmi dan Sidiq. Hanya butuh waktu singkat untuk kami
saling kenal. Mungkin karena kami memiliki hobi yang sama, kami pun cepat
akrab.
Jarum jam tepat menunjukkan pukul 12.15 WITA saat pesawat kami mendarat di Bandar Udara Internasional Lombok. Setelahnya kami langsung menuju Sembalun, yang letaknya di kaki Rinjani. Tempat inilah yang menjadi titik
awal pendakian kami. Saya berdebar karena telah begitu dekat dengan
Rinjani. Mimpi yang telah lama bersemayam itu akan segera tunai.
Berpose dengan background Sembalun |
Di pos penjagaan, kami menyiapkan
diri sebelum pendakian. Barang bawaan dibagi. Saya khusus membawa logistik
seperti makanan, nesting serta obat-obatan.
Pukul empat sore, diawali dengan membaca
doa, kami pun memulai pendakian. Selangkah demi selangkah kami meninggalkan
Sembalun. Menelusuri kebun-kebun warga, semakin jauh melangkah jalan semakin sunyi. Naik turun
perbukitan. Hamparan rumput yang hijau menjadi pemandangan yang menenangkan.
Saat langit mulai gelap, saya
mulai gelisah karena kami belum juga sampai di pos 1 sementara hujan mulai
turun.
“Ini benarkan track-nya?” Saya mulai bimbang.
Sebab hari itu kami memang tidak membawa guide ataupun porter. Kami berjalan hanya mengikuti jejak para pendaki sebelumnya. Selanjutnya, hanyalah sentuhan firasat.
Sebab hari itu kami memang tidak membawa guide ataupun porter. Kami berjalan hanya mengikuti jejak para pendaki sebelumnya. Selanjutnya, hanyalah sentuhan firasat.
“Mudah-mudahan betul Bang,” Fahmi
tertawa. Saya menghela napas, pasrah.
Di balik raincoat saya terus menapaki jalan dengan penuh keyakinan. Hujan
mulai turun dengan derasnya. Sesekali petir menggelegar seolah menggertak kami
untuk kembali pulang.
Kami terus berjalan dengan penuh
keheningan. Menapaki track yang
basah. Tubuh kami sudah menggigil sehingga tak ada yang mau bercerita untuk sekadar menghangatkan
suasana.
Hingga akhirnya.
“Pos Satuuu!,” teriak Sidiq, memecah
keheningan.
Saya sumringah saat melihat sebuah pondok
kecil. Di atasnya berdiri sebuah tenda. Ada dua pendaki yang saat itu bermalam
di sana. Melihat kami yang sudah basah kuyup, mereka pun berniat untuk
menurunkan tendanya agar kami bisa berteduh di pondok tersebut.
Dengan halus, Fahmi menolaknya.
“Bener nih Bang,” pendaki yang tubuhnya jangkung memastikan lagi.
“Iya Bang, kami nge-camp di pos selanjutnya saja,” ujar
saya.
Saat itu saya merasakan betapa kuatnya ikatan emosional para pendaki. Solidaritas sesama pendaki yang katanya terjalin erat, saat itu benar-benar terbukti. Meskipun tubuh saya menggigil, tapi
pertemuan singkat sesama pendaki malam itu mampu membuat jiwa saya menghangat.
Pukul 11 malam, akhirnya kami
tiba di Pos III. Di sanalah kami bermalam, mengumpulkan kembali tenaga yang
hilang. Saya sadar, perjalanan ini masih jauh. Bahkan belum setengah perjalanan
pun. Tapi sejauh ini, saya sudah merasakan begitu banyak pelajaran.
Maka malam itu, meskipun tubuh
begitu lelah, tapi mata saya sulit sekali terpejam. Saya tak sabar untuk
melanjutkan perjalanan esok. Saya memperhatikan wajah Sidiq yang sudah tertidur
pulas. Tak lama kemudian, Fahmi memadamkan lampu yang menggantung di tengah tenda.
Dalam gulita saya tersenyum,
bersama suara hujan yang terus jatuh di atas tenda.
Pendakian ini semakin
menyenangkan. Saat kami bertemu sekelompok pendaki yang diketuai oleh Bang
Eric. Hujan tadi malam menjadi tema cerita awal perkenalan. Sama seperti kami,
mereka pun terpaksa membangun tenda di tengah perjalanan.
Menembus Kabut Rinjani |
Kami baru bertemu hari itu, tapi
rasanya seperti teman lama yang baru berjumpa kembali. Kami langsung akrab. Bang Eric
pun tersenyum saat saya tertatih-tatih menapaki Tanjakan Penyesalan. Track menanjak yang rasanya tak ada
habis-habisnya.
“Ayoo jangan menyerah!” Teriaknya memberi semangat.
Di sini, kebersamaan memang
terasa nyata. Kami betul-betul larut dalam suasana. Saat istirahat kami
saling bertukar makanan. Bang Eric menawarkan sekotak jus miliknya. Kami meminumnya secara bergantian.
Kami juga saling bertukar cerita.
Menariknya, sesederhana apapun cerita
selalu mengesankan. Seperti cerita teman Bang Eric (yang saya lupa namanya), tubuhnya
tegap dan wajahnya sangar. Namun ironisnya, ia hampir saja tak jadi berangkat
ke Rinjani karena istrinya tak mengizinkan.
Di bawah pohon cemara, kami tak
kuasa menahan tawa saat ia bercerita harus melakukan hal-hal bodoh demi
mendapatkan izin sang istri.
“Seberat-beratnya naik gunung,
tetap yang paling susah menaklukkan istri, kalian buktikan sajalah nanti,” simpulnya
yang langsung meledakkan tawa kami lagi.
Setiap pendaki adalah teman baru |
Pukul lima sore kami tiba di
Plawangan. Inilah etape terakhir sebelum kami summit, menuju puncak Rinjani. Dari Plawangan, nun jauh di sana tampaklah
Sembalun yang dinaungi awan tipis. Tak terasa saya telah melangkah sejauh ini.
Saya merasa sangat bersyukur, karena sejauh ini Allah masih memberikan saya
kekuatan.
Danau Segara Anak juga tampak
begitu teduh. Pohon-pohon cemara, edelweis, kabut tipis. Semuanya tampak begitu
harmoni. Saya tak henti-hentinya bersyukur karena bisa menyaksikan pemandangan
alam yang demikian.
Plawangan, sore itu... |
Ujian terberat dari pendakian Rinjani
akhirnya tiba juga. Pukul 1 dini hari, semua pendaki yang ada di Plawangan
keluar dari tendanya. Kerlap-kerlip headlamp
para pendaki menghiasi Plawangan. Saya mengencangkan jaket. Menguatkan kembali tekad.
Para pendaki tampaknya sudah siap
untuk menapaki lereng Rinjani yang curam. Inilah track yang harus dilalui untuk sampai ke puncak Rinjani. Jujur,
saya sempat menggigil saking takutnya saat menyadari jalur itu hanya selebar dua
meter. Track yang berpasir membuat
langkah semakin berat.
Sementara di sisi kirinya adalah jurang yang curam. Sedangkan sisi lainnya adalah kawah Rinjani yang menganga.
Langkah saya semakin berat karena harus menjaga keseimbangan dari tiupan angin
yang kencang. Selain itu, saya juga harus berjuang untuk melawan rasa takut
dalam diri sendiri.
Setelah 7 jam perjalanan melewati
track “mematikan” tersebut, akhirnya
dada saya berdebar saat menyaksikan apa yang selama ini hanya menjadi impian.
Ya, tepat di hadapan saya tampaklah Puncak Rinjani.
Finally, Puncak Rinjani |
Pendakian Rinjani memang cukup
melelahkan, namun ada begitu banyak inspirasi yang saya dapatkan. Tentang
kesetiakawanan, nyatanya kebersamaan, serta
tekad pantang menyerah dalam mewujudkan mimpi. Segenggam inspirasi ini
tak akan pernah saya temukan jika hanya berdiam diri di rumah.
Bersama hingga Puncak |
Rinjani telah membuka mata saya. Segenap
inspirasi yang saya temukan di sana, menjadikan saya kian candu pada dunia
traveling. Kini, saya pun lebih berani merencanakan list destinasi impian. Sejauh apapun itu.
Apalagi sekarang telah ada Skyscanner, yang memudahkan saya dalam memantau harga pesawat. Skyscanner juga bisa menyajikan ratusan situs penjualan tiket pesawat. Fitur ini sangat membantu saya dalam menyusun
rencana perjalanan. Tiket pesawat yang murah bisa saya pesan jauh-jauh hari,
lalu mencocokkannya pada waktu yang tepat untuk traveling.
Terima kasih Rinjani, untuk segenggam inspirasi ini |
Rinjani telah mengajarkan saya
banyak hal. Untuk berani bermimpi, berani menjelajahi destinasi impian. Sebab
saya yakin, dalam setiap traveling
selalu ada inspirasi baru yang kita temukan.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)