Meredam Konflik di Ruang Memorial Perdamaian

Ruang Memorial Perdamaian di Kesbangpol dan Linmas Aceh

Pada ruangannya yang mewah. Interiornya yang elegan. Ruang Memorial Perdamaian menyimpan Segenap Cerita Konflik Aceh. Di sini, Denyut Konflik Itu memang Terasa. Hanya Saja, Kini Debarnya Telah Berbeda.


Kampung Durian pukul tiga dini hari. Saya tiba-tiba tersentak dari tidur saat suara desing peluru saling bersahutan di langit Kampung Durian. Saya bergidik di atas kasur, merapatkan tubuh di balik lemari. Sekaligus berdoa semoga tak ada peluru yang menembus rumah kami yang berdinding papan.

Sorot lampu Truck Reo sesekali menjilat-jilat rumah kami. Suara teriakan penuh amarah menjadikan malam itu kian mencekam.

Suara tembakan terasa begitu dekat, sepertinya salah seorang pemegang senjata itu berada di samping rumah kami. Lalu, tubuh saya semakin bergetar saat sebutir peluru melesat di atas seng rumah. Hingga kini, lubang sebesar telunjuk itu masih menganga di atap rumah.

Kontak senjata antara Aparat dan GAM ini berlangsung hingga Subuh. Paginya, saya memberanikan diri keluar rumah. Begitu pula warga Kampung Durian lainnya.

 Sebuah mobil Panther tampak kaku di depan rumah saya. Dindingnya penuh berondongan peluru. Saya mengintip dari celah-celah kaca mobil yang pecah.  Jok mobil itu penuh ceceran darah dan sejumput rambut manusia beserta daging kepala. Bak rumput yang dicabut, tergeletak tak berdaya di sana.

Saya ingat betul, kejadian mencekam itu terjadi pada Jumat dini hari, 17 Agustus 2001. Karena malam sebelumnya, adalah kali pertama saya menggantikan Abah mengikuti pengajian kampung Al Munfarijah di rumah Kadir, teman kecil saya.

Tiba-tiba saja, kenangan mencekam 16 tahun silam tersebut datang kembali saat saya memasuki Ruang Memorial Perdamaian di Kesbangpol dan Linmas Aceh. 

Hanya saja, kini debarnya telah berbeda?

Jarum jam menunjukkan pukul 09:50 WIB ketika saya bersama teman-teman GIB (Gam Inong Blogger), untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ruang memorial Perdamaian. Interior ruangan ini tampak mewah. Desainnya pun elegan. Tapi isi ruangannya, cukup membuat emosi saya bercampur aduk.

Foto besar Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, yang menggapit tangan Hamid Awaluddin dan Malik Mahmud menggantung di atas dinding.

Anggota Gam Inong Blogger (GIB) Menyaksikan potongan senjata 
Di depan foto paling bersejarah dalam perdamaian Aceh tersebut, terdapat sebuah kotak kaca berisikan lima potongan senjata jenis AK 56, M16, pistol  dan dua butir granat manggis.

“Senjata ini kami peroleh dari Kodam, hanya ini yang diperbolehkan. Ini pun izinnya sulit sekali,” ujar Farisya, Kurator yang menemani kami.

Potongan senjata tersebut cukup menarik perhatian saya. Karena inilah artefak konflik Aceh sekaligus saksi bisu berakhirnya catatan kelam konflik bersenjata di Negeri Serambi Mekkah ini.

Di Ruang Memorial Perdamaian ini emosi kita memang bercampur aduk. Apalagi saat menyaksikan foto-foto terkait konflik Aceh. Wajah-wajah tokoh pendidikan Aceh yang turut menjadi korban konflik. Ekspresi dingin para Inong Balee (Tentara Perempuan Aceh) sambil memegang AK 47. Lambaian tangan Hasan Tiro saat menuruni pesawat ketika pulang ke Aceh. Semua gambar itu, bak puzzel-puzzel yang terserak. Lalu perlahan terangkai menjadi sebuah kenangan yang memilukan.

“Sebenarnya kita punya ratusan koleksi foto, tapi tidak semuanya ditampilkan. Kita hanya pilih yang memang layak untuk ditampilkan,” ujar Mardian, Kurator lain di ruangan ini.

Dua Perempuan Aceh di Hadapan Inong Balee
Mardian tak ingat secara pasti siapa yang mendasain ruangan ini. “Sebelumnya, ruangan ini adalah Ruang Kerja Penanganan Konflik, yang juga ruang kerja saya,” ungkapnya.

Setelah 30 menit di ruangan ini. Sekretaris Kesbangpol dan Linmas Aceh, T. Nasruddin pun datang. Ia menyalami kami satu persatu.

Di depan sebuah meja oval Nasruddin bercerita, bahwa ruangan ini merupakan inisiatif Nasir Zalba, Kepala Kesbangpol dan Linmas Aceh sebelumnya. Gagasannya telah ada pada tahun 2013. Terealisasikan tahun 2014 dan  baru diresmikan pada awal 2015. Wali Nangroe Malik Mahmud sempat hadir saat launching ruangan ini.

“Tujuannya, kita ingin merangkul. Jangan ada lagi dendam. Baik TNI maupun GAM,” ungkap Nasruddin.

T. Nasruddin Bercerita tentang Sejarah dan Tujuan Ruang Memorial Perdamaian

Ruang yang Nyaman untuk Diskusi
Ruang Memorial Perdamaian ini tak sekadar memamerkan artefak konflik Aceh. Di ruangan ini juga tersedia pustaka mini dengan kursi yang empuk. Seperti kata Nasruddin, ruangan ini sejatinya berfungsi sebagai pusat edukasi dan ilmu pengetahuan  tentang konflik Aceh.

 “Kita ingin orang-orang mendapatkan informasi yang benar tentang penanganan konflik Aceh,” ujarnya.

Oleh karena itu, Pemerintah Aceh pun telah mengalokasikan dana Rp. 1 Milyar untuk merenovasi kembali ruangan ini. Nasruddin pun berencana membuat ruangan ini dengan tampilan multimedia. Saat ini ia pun sedang berupaya mengumpulkan lebih banyak lagi artefak konflik Aceh, salah satunya seragam asli anggota GAM.

“Kalau ada yang mau jual sama kami silakan, tapi harganya jangan terlalu mahal,” ucapnya sambil tersenyum.
Pustaka Mini yang Nyaman
Menurut Nasruddin, koleksi artefak konflik Aceh ini memang harus diperbanyak, seperti coretan-coretan MoU Helsinki yang merupakan bukti otentik yang sangat bernilai.

“Karena tahun 2018 nanti Pemerintah Irwandi ingin ruangan ini bisa menjadi pusat informasi dan referensi tentang penyelesaian konflik Aceh,” ujar Nasruddin.

Ruang Memorial Perdamaian ini terbuka untuk umum. Pihak Kesbangpol dan Linmas Aceh pun membolehkan kegiatan-kegiatan yang bertema edukatif di ruangan ini. Seperti diskusi, rapat, maupun sebagai ruang kuliah bagi para mahasiswa.  Bahkan, pengunjung diberikan minuman gratis.

“Kalau kunjungan biasa, silahkan datang saja. Tapi kalau mau buat kegiatan, baiknya kabari kami dulu,” ujar Nasruddin.

Sebagai orang Aceh, saya sepakat dengan inisiatif didirikannya Ruang Memorial Perdamaian ini. Ruangan ini harus menjadi tempat kontemplasi bagi siapapun, tentang pahitnya hidup di zaman konflik. Tentang bernilainya rasa aman. Tentang hidup yang saling percaya.

Semua perasaan tersebut, adalah kerinduan yang sempat meredup oleh masyarakat Aceh ketika hari-hari mereka terus dihantui rasa takut. Seolah konflik bersenjata ini tiada akhir.

Ragam Ekspresi dalam Satu Cerita
Maka tak ada salahnya, jika ruangan ini menjadi pusat informasi penyelasaikan konflik Aceh. Hanya saja, saya menyarankan semua informasi tentang konflik Aceh yang disajikan di sini haruslah objektif. Tak ada cerita yang ditutupi. Semua orang punya hak untuk mendapatkan cerita yang sebenarnya.

Ruangan ini, telah menunjukkan fungsinya untuk meredam konflik. Maka jangan sampai, gara-gara kesalahan menyajikan informasi justru akhirnya menimbulkan konflik baru.

Tak terasa sudah dua jam saya berada di ruangan kecil yang menyimpan memori konflik Aceh ini. Cerita kelam di Kampung Durian 16 tahun silam itu memang sempat menyala di benak saya. Tapi seketika pula kenangan tesebut teredam, yang kemudian menimbulkan rasa syukur yang tak hingga atas perdamaian Aceh.

“Bagus, damai itu memang sesuatu yang harus disyukuri,” ujar Ihan, Blogger Aceh, ketika saya tanya kesannya terhadap tempat ini. Sebuah kesimpulan yang juga saya rasakan.

Ya. Di Ruang Memorial Perdamaian, denyut konflik itu kembali terasa. Hanya saja, kini debarnya telah berbeda.

Saya dan Senjata Konflik Aceh

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

6 comments:

  1. Nggak bisa dibayangkan bagaimna berada di ruangan ini untuk mereka yang terlibat langsung.

    BalasHapus
  2. Keren Pakcek, walau nggak ikut hari itu, rasanya Kak Aini juga berada di sana. Memang nikmat yang harus disyukuri ya. Alhamdulillaah

    BalasHapus
  3. Kisah pilu di kampung durian masih membekas dan kini jadi sejarah panjang mencapai perdamaian yang hakiki. Saatnya kita tetap menjaga perdamaian itu tanpa harus terulang kembali takut ke kamar mandi hanya karena suara desiran peluru. Tulisannya inspiratif bhang!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Iqbal, jangan lagi ada dendam di antara kita Bal... :D

      Hapus