Bangga Berbahasa Tamiang

Inilah Aceh Tamiang 


Berbahasa Tamiang adalah cara menjaga identitas. Zaman boleh berubah, tapi bahasa ini harus tetap terjaga eksistensinya. Hanya saja, tanggung jawab moral ini terasa sulit. Jika orang Tamiang sendiri, tak ada lagi kebanggaan dalam menuturkannya. 

Seorang ibu penjual lontong di kampung saya, Kampung Durian, terkejut saat saya berbicara dengan Bahasa Tamiang. Setelah sekian lama di perantauan, dikiranya saya sudah lupa atau merasa enggan bertutur kata dengan bahasa tanah kelahiran saya itu.

Mantang endak engko cakap Tamiang,  biasonye ukhang mu udah mekhanto mano endak lagi, (Masih mau kamu bicara Tamiang, biasanya orang kalau sudah merantau mana mau lagi),” ungkapnya.

Ah, mae pulo tak endak, (Ah kenapa pula tak mau),” jawab saya.

Ibu itu pun bercerita, tentang anak-anak di Kampung Durian yang mulai enggan berbahasa Tamiang. Mereka yang pulang dari perantauan pun serasa kehilangan identitasnya. Tak mampu lagi bertutur kata dengan bahasa Tamiang.

Apa yang digelisahkan Ibu itu, memang benar. Saya menyaksikan sendiri, sulit sekali menemukan anak-anak kecil di kampung kami yang bisa berbahasa Tamiang.

Saya tidak tahu, apakah di rumah mereka memang tidak dibiasakan berbicara dengan bahasa Tamiang. Paling tidak dengan orang tua ataupun anggota keluarganya. Padahal, lingkungan keluarga adalah tempat yang paling efektif mengenalkan bahasa ini.

Kalau di keluarga saya, kami memang terbiasa menggunakan bahasa Tamiang. Termasuk dengan saudara Abah lainnya. Terkadang, hal ini pula yang menjadi kebahagiaan saya saat pulang kampung. Dahaga untuk bertutur kata dengan bahasa daerah terobati.

Bagi saya, bertutur kata dengan bahasa Tamiang itu ada sensasi bahagianya sendiri. Apalagi kalau bercanda, orang Tamiang pintar sekali merangkai kata yang memancing imajinasi kita untuk tertawa.

Pakcik saya adalah contohnya.  Jika ia sudah datang ke rumah, maka kami pun tak kuasa menahan tawa mendengar ceritanya. Sampai-sampai tak sadarkan waktu sudah larut malam.

Terkadang, materi ceritanya sederhana saja. Tentang keseharian, pengalamanya mencari ternak. Namun karena dirangkai dengan dialek Tamiang yang unik, maka cerita tersebut terasa istimewa.


Pakcik saya (berpeci putih), caranya bertutur selalu saja memancing tawa
Saya teringat ketika banjir besar yang melanda kampung kami pada 1996 silam. Saat itu semua penduduk Kampung Durian mengungsi ke tempat paling tinggi di kampung kami, yaitu Bukit Kuburan Cina.

Saat malam kian larut, saya mendengar suara orang tertawa terbahak-bahak di bawah tenda pengungsi. Sontak saya terbangun. Telinga terasa tak asing dengan sumber suara. Saya pun mendekat.

Benar dugaan saya, di sana sekelompok orang sedang khusyuk menyimak cerita dari sosok yang begitu saya kenal. Pakcik saya telah berhasil membuat seisi tenda tak  tidur hingga tinggi malam.

Bahasa Tamiang memiliki cita rasa seni yang tinggi

Orang Aceh Tamiang  dikenal memiliki  makna yang dalam saat bertutur. Tata bahasa mereka yang santun dan sangat menjaga adab, seolah menjelaskan betapa arifnya masyarakat Negeri Bumi Muda Sedia ini.

Menurut saya, hal seperti ini adalah salah satu khazanah Budaya Aceh yang harus terus dilestarikan.


Orang Tamiang sangat menjaga adab
Dalam budaya Aceh Tamiang, bertutur adalah cara mereka menjelaskan identitasnya, sebagai masyarakat yang memiliki cita rasa seni yang tinggi. Setiap kata mereka, terkadang membutuhkan kecerdasan tersendiri untuk mencernanya.

Sebagai contoh, dalam bercanda, memberi nasihat atau bercerita orang Tamiang terkadang gemar sekali menggunakan istilah-istilah. Kata-kata yang penuh maksud itu tak sekadar ucap, tapi memiliki pesannya tersendiri. Bahkan kata yang paling kasar sekali pun, terkadang masih terasa beradab.

Cerita Pakcik saya adalah contoh kecil, bagaimana Bahasa Tamiang menjadi identitas dirinya. Menjadi kebanggaan dalam hidupnya.  Dari caranya bertuturlah, orang kemudian mengenalnya.

Bahasa Rumpun Melayu

Bahasa Tamiang adalah salah satu bahasa daerah di Aceh. Penuturnya banyak di wilayah timur Aceh yang berbatasan dengan Sumatra Utara. Sepintas, Bahasa Tamiang memang mirip Bahasa Malaysia. Karena keduanya berasal dari garis yang sama yaitu rumpun Melayu.

Maka ketika menonton film Upin Ipin, saya merasa anak-anak lucu itu berasal dari Kampung Durian, eh dalam cerita  setting-nya memang  Kampung Durian yah. 

Meskipun demikian, Bahasa Tamiang di Kabupaten Aceh Tamiang juga terbagi dua yaitu Tamiang Hilir dan Hulu. Perbedaan keduanya terlihat dari dialek bicara serta pemilihan suku katanya.

Misal, untuk menyebut kata “tidak ada” adalah “cadok” untuk Tamiang Hulu. Sementara Tamiang Hilir adalah “cadee”. Jadi dari cara bertuturnya saja, kita bisa mengetahui dari mana seseorang berasal.

Tamiang Hulu terasa lebih halus, sementara Tamiang Hilir cenderung menggunakan vokal “E” dalam setiap pilihan katanya. Nah, kalau kita perhatikan, Tamiang Hilirlah yang terasa lebih dekat dengan Bahasa Malaysia. Saya kira, hal ini tidak lepas dengan letak geografis penuturnya yang berada di garis pantai dekat Selat Malaka.

Bahasa Tamiang saya termasuk golongan Tamiang Hulu, yang sebarannya meliputi Kecamatan Rantau, Kejuruan Muda, Kuala Simpang, Karang Baru dan Tamiang Hulu.

Sementara Tamiang Hilir meliputi Kecamatan Seruway dan Bendahara. Dan sebagiannya juga ada di Kecamatan Manyak Payed, Karang Baru dan Rantau.

Di tengah masyarakat Tamiang yang tergolong heterogen. Bahasa Tamiang adalah penegas. Beragam suku berkumpul di negeri Bumi Muda Sedia ini mulai Aceh, Jawa, Minang, Melayu serta Tionghoa. Meskipun dihuni multi etnis dan suku, masayarakat Tamiang tetap hidup dengan rukun. Tak pernah ada konflik yang berarti terjadi di daerah ini.

Di tengah masyarakat yang heterogen, berbahasa Tamiang adalah cara menjaga identitas diri

Dalam keberagaman itulah, bahasa Tamiang harus tegas dengan identitasnya. Maka anak-anak Tamiang, semestinya tak perlu malu bertutur kata dengan bahasa Tamiang. Mereka harus berani menunjukkan jati dirinya.

Sebagai khazanah bangsa, sudah semestinya bahasa Tamiang dijaga eksistensinya. Saya kira, Suku Tamiang adalah pihak pertama yang paling bertanggung jawab secara moral menjaga kelestarian bahasa ini. Tak mungkin mengharapkan suku lain untuk menjaga kelangsungan identitas Tamiang.

Hanya saja beban moral ini semakin sulit, jika generasi Tamiang sendiri mulai enggan bertutur dengan bahasanya. Merasa asing dengan identitasnya sendiri. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin Bahasa Tamiang nantinya hanya tinggal nama.

Anak-anak Tamiang harus mulai dibiasakan bertutur dengan bahasa tanah kelahirannya ini.
Eksistensi bahasa Tamiang ini memang harus menjadi tanggung jawab bersama. Caranya, bisa di mulai dari lingkungan keluarga. Para orang tua harus mulai membiasakan bertutur kata dengan anak-anaknya menggunakan bahasa Tamiang. 

Tanamkan kebanggaan dalam diri mereka saat berbicara menggunakan bahasa Tamiang. Berikan pemahaman, bahwa di tangan merekalah masa depan bahasa ini selanjutnya. Tak perlu merasa malu, tak perlu merasa rendah diri. 

Mudah-mudahan, meskipun mereka nantinya pergi merantau jauh. Saat kembali ke tanah kelahirannya, hal pertama yang paling dirindukannya adalah bertutur kata dengan bahasa Tamiang.


Maafkan tulisan tangan saya yang alakadarnya 😂


Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

15 comments:

  1. Yel juga merasakan begitu bg, di kampung Yel, anak-ank sudah mulai menggunakan bahasa Indo, tapi untungnya generasi 90-an kayak Yel masih fasih berbahasa Aneuk Jame dan tetap menggunakan bahasa tersbut dalam keseharian.

    BalasHapus
  2. bahasa lokal tetap perlu dilestarikan karena itu jadi bahasa pemersatu, katanya kalau bisa bahasa lokal kalau belanja dikasih murah :p

    BalasHapus
  3. saya termasuk yang sangat menjungjung tinggi budaya daerah, terutama bahasa. prihatin juga kalau sampai generasi muda lokal sudah enggan atau bahkan tidak mau menggunakannnya.

    salah satu contoh program untuk melestarikan bahasa adalah miliknya RIdwan Kamil yang bernama "Rebo Nyunda", dan saya rasa itu bisa jadi referensi untuk pemerintah daerah mas Ibnu untuk membuat orang tergerak menggunakan bahasa Tamiang kembali

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah iya, program yang bagus itu. Memang, untuk melestarikan bahasa daerah harus ada dukungan semua pihak termasuk pemerintah, seperti Kang Emil.

      Hapus
  4. Waaah bener, pantesan kok bahasanya aku agak mudeng, krn mirip melayu sedikit :D. Krn aku tinggal 18 thn fi aceh utara, 2 thn di banda aceh, tp aku denger bahasanya ga ada mirip2nya ama melayu.. Sampe skr aja aku ttp ga ngerti bahasa aceh yg biasa aku dgr dulu :D. Kalo nilai ujian bisa ngepas, itu jg krn dibantu ama temen semeja pas ujian hihihi.. Coba dulu bahasa acehnya mirip bhs tamiang ini, mungkin aku bakal mudeng :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe bahasanya mirip Upin Ipin, inilah khazanah budaya Aceh yang harus kita jaga :)

      Hapus
  5. Bang bahasa tamiangnya apa kabar ap bang?

    BalasHapus
  6. Bang bahasa tamiangnya apa kabar ap bang?

    BalasHapus
  7. Mantap, bahase Tamiang ne macam ade sesuatunye lah,, susah dijelaske,, tapi betol2 terase akrab. selame meranto selaen masakn emak yg buat rindu kampong, slah satunye kumpol2 same jiran, becakap bahase tamiang. Tulisannye oke bng,, semoge sesame kite urang tamiangne jangan malu2 cakap tamiang klok cdek endak bahase tamiang ne "tinggal kenangan"... kampong durian mae kabokh ?, slam dri seruwe !. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha ukhang Seruwey rupo nyee
      Salam jugoo, jayoleh Tamiang :)

      Hapus
  8. Dialeknye hampegh same dengan melayu deli di medan. Tidek jaoh bede.

    BalasHapus