Kebanggaan Milenial Bumi Muda Sedia, Tunjukkan Budaya Aceh di Jagat Maya dengan Berbahasa Tamiang

Bangga Berbahasa Aceh Tamiang


Sebuah video pendek muncul di timeline Facebook saya. Video berdurasi lima menit itu ceritanya sederhana saja. Tentang seorang pemuda yang kebingungan karena sepeda motornya mogok. Lalu ia meminta pertolongan kepada siapapun yang melintas.

Video itu menarik perhatian saya karena dituturkan dalam bahasa Tamiang. Menjadikan cerita yang sederhana itu, memiliki daya tariknya sendiri.  Pemuda itu bertutur dengan logat Tamiang yang kental, sehingga setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu mengundang tawa.

Background dalam cerita juga cukup mewakili kearifan lokal Aceh Tamiang. Misalnya, lokasi cerita dengan jalanan tanah yang kuning, lalu di setiap sisi jalan berbaris pepohonan sawit. Karakteristik tempat yang sangat familiar di Tamiang.

Video ini bersumber dari channel Youtube Andre Kck. Mileneal dari Bumi Muda Sedia, julukan dari Aceh Tamiang. Di Facebook, sampai tulisan ini saya buat, video tersebut sudah di-like sebanyak 2.200 orang, serta sudah di-share sebanyak 262 kali.

Pada video itu tertulis caption: “Film Pendek Karya Anak Tamiang. Full Bahasa Tamiang, maaf jika salah kata”. Caption ini jelas penuh maksud, bahwa video pendek ini benar-benar menjadikan bahasa Tamiang sebagai daya tariknya. 

Mempromosikan Budaya Aceh Tamiang di Jagat Maya

Netizen pun memberikan apresiasi positif terhadap video tersebut. Mereka terhibur, banyak yang minta untuk dibuatkan video lainnya. Bahkan yang tengah di perantauan, gara-gara video itu jadi rindu kampung halaman.

Respon netizen itu setidaknya menjelaskan, bahwa mereka sangat menikmati. Mereka tertarik secara emosional, karena ada unsur lain yang membuat mereka merasa bagian dari cerita tersebut. 

Ya, unsur itu adalah bahasa Tamiang. Satu dari sembilan bahasa yang ada di Bumi Aceh. Sebagai Putra Tamiang, saya turut bangga karena generasi muda Tamiang  mulai melestarikan bahasa ini. Di tengah gempuran budaya asing, mereka tetap konsisten mempertahankan identitasnya.

Begitu pula saya, salah satu hal yang paling membahagiakan ketika pulang kampung adalah bisa bertutur kembali dengan bahasa Tamiang. Ada kebahagiaan tersendiri saat setiap kalimat itu keluar dari mulut saya.

Bahasa Melayu di Bumi Aceh.

Dalam Ensiklopedia Kebudayaan Aceh, dijelaskan bahwa bahasa Tamiang disebut juga  bahasa Teumieng yaitu sebuah variasi bahasa Melayu yang dituturkan oleh Suku Tamiang yang tinggal di Aceh Tamiang. Sepintas, bahasa Tamiang memang mirip bahasa Malaysia. Karena keduanya berasal dari garis yang sama yaitu rumpun Melayu.

Bahasa Tamiang terdiri dalam dua varian, yaitu Tamiang Hilir dan Hulu. Untuk Tamiang Hulu, penuturnya berada di kawasan Tamiang Hulu, Kejuruan Muda, Kota Kuala Simpang, sebagian kecamatan Karang Baru  dan Rantau. Sementara Tamiang Hilir, berada di kawasan kecamatan Seruway, Bendahara dan sebagaian kawasan Manyak Payed, Karang Baru dan Rantau.

Potret Interaksi dengan Bahasa Tamiang dalam Kelurga Saya


Perbedaan keduanya terlihat dari dialek bicara serta pemilihan suku katanya. Misalnya, untuk menyebut kata “tidak ada” adalah “cadok” untuk Tamiang Hulu. Sementara Tamiang Hilir adalah “cadee”. Jadi dari cara bertuturnya saja, kita bisa mengetahui dari mana seseorang itu berasal.

Tamiang Hulu terasa lebih halus, sementara Tamiang Hilir cenderung menggunakan vokal “E” dalam setiap pilihan katanya. Nah, kalau kita perhatikan Tamiang Hilir inilah yang terasa lebih dekat bahasa Malaysia.
 Saya kira, hal ini tidak lepas dengan letak geografis penuturnya yang berada di garis pantai dekat Selat Malaka.  Seperti pemuda di video tersebut, jika melihat dialek Tamiangnya. Besar dugaan saya, ia berasal dari Tamiang Hilir.

Masa Depan Bahasa Tamiang di Lisan Mileneal

Karena itulah, kebanggaan bertutur ini harus terus dilestarikan. Apalagi pelakunya adalah para mileneal. Lisan merekalah yang menjadi penentu keberlanjutan penutur bahasa ini di masa depan. 

Sebab saat ini sulit sekali menemukan generasi muda Tamiang yang bisa berbahasa Tamiang. Khususnya untuk kawasan Kota Kuala Simpang dan sekitarnya. Saya ingat ketika pulang kampung beberapa waktu lalu. 

Calon Penerus Penutur Bahasa Tamiang

Kala itu, saya pergi untuk membeli lontong pada sebuah warung nasi yang masih di wilayah kampung saya yaitu Kampung Durian. Ibu penjual lontong itu terkejut saat saya berbicara bahasa Tamiang kepadanya.

Ia tidak menduga, saya yang telah lama di perantauan ternyata masih mahir bercakap-cakap dengan bahasa Tamiang. 

Mantang endak engko cakap Tamiang,  biasonye ukhang mu udah mekhanto mano endak lagi, (Masih mau kamu berbahasa Tamiang, biasanya orang kalau sudah merantau mana mau lagi),” ungkapnya.
Ah, mae pulo tak endak, (Ah kenapa pula tak mau),” jawab saya.

Ia kemudian bercerita, tentang anak-anak di Kampung Durian yang mulai enggan berbahasa Tamiang. Mereka yang pulang dari perantauan pun serasa kehilangan identitasnya. Tak mampu lagi bertutur kata dengan bahasa Tamiang.

Apa yang digelisahkan Ibu itu, memang benar. Saya menyaksikan sendiri, sulit sekali menemukan anak-anak kecil di kampung kami yang bisa berbahasa Tamiang.

Fakta ini menjadi catatan tersendiri di hati saya. Maka, ketika pertama kali saya menyaksikan video tersebut. Saya merasa harapan itu masih ada. Bahasa Tamiang tidak akan punah, jika mereka masih bangga menuturkannya.

Pertumbuhan akun Instagram ataupun Youtube dari mileneal Tamiang juga tergolong banyak. Mereka mempromisikan Aceh Tamiang dengan caranya sendiri. Meskipun viewer ataupun subscriber-nya tak banyak, namun mereka tetap konsisten berkarya. Mengangkat khazanah Tamiang di jagat maya. Sebagian dari mereka menggunakan bahasa Tamiang sebagai media komunikasinya.

Budaya Tamiang kian Memperkaya Khazanah Budaya Aceh

Kebanggaan betutur dengan bahasa Tamiang di jagat maya ini, telah memberikan prespektif lain tentang Aceh. Mereka  mempertegas identitasnya, sekaligus mengenalkan lebih luas betapa kayanya khazanah Budaya Aceh.

Sebab selama ini ada paradigma yang keliru tentang identitas ke-Acehan. Banyak orang mengira,  bahkan saya pernah mengalaminya beberapa kali,  bahwa seseorang belum disebut Orang Aceh jika tak mampu berbahasa Aceh yang “umum” itu .

Padahal Bahasa Aceh tak hanya satu. Masih mengutip Ensiklopedia Kebudayaan Aceh, dijelaskan bahwa terdapat sembilan suku asli di Aceh, yaitu: Aceh, Gayo, Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee, Alas, Pak-pak, Simeulu, Haloban, dan Singkil. Selain suku asli, terdapat pula suku pendatang seperti Jawa, Batak, Sunda, dan lainnya. Tidak hanya itu, di Aceh juga terdapat keturunan etnik Arab, Tionghoa, Eropa, dan India. 

Bersama para Mileneal Aceh, Bersama-sama Mempromosikan Aceh di Jagat Maya

Hal ini menjelaskan, Aceh sangat kuat memegang paham multikulturalisme. Maka sangat keliru jika menilai Aceh hanya dari satu bahasa saja. Apalagi sampai menuduh orang yang tak bisa bahasa Aceh, tak pantas disebut sebagai orang Aceh.

Paradigma keliru ini sangat tidak baik dan cenderung merusak. Jika terus dibiarkan akan memicu perpecahan. Perdebatan seperti ini seharusnya sudah selesai.

Kampung Durian Apa Kabar? Sebuah Tulisan Tangan Saya di Puncak Gunung Rinjani.

Nah, inilah tugas melineal Aceh. Mereka harus bangga menunjukkan identitasnya. Dari sudut Aceh manapun terlahir, mereka harus terlatih untuk menuturkan bahasa daerahnya itu. Seperti mileneal Tamiang pada video itu.  Melalui jagat maya, ia kenalkan bahasa Tamiang pada dunia. Sekaligus menunjukkan, betapa kayanya khazanah budaya di negeri Bumi Serambi Mekkah ini.


*Tulisan ini Diikutsertakan pada Kompetisi Lomba Blog Budaya Aceh di Mata Milenal

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

6 comments:

  1. Ada foto aku koq, hahaha. Bahasa Tamiang emang unik, sama halnya dengan bahasa kami Aneuk Jamee. Bagi yang di rantau memang rindu ingin menggunakan bahasa ibunya, bila ada video yang menuturkan bahasa ibunya pasti akan dilihat berulang-ulang. Yel juga merasakan ,hal itu bg bila ada video youtube yang menggunakan bahasa kami. Semoga ya, para milenial cinta akan bahasanya dan keberagaman budaya Aceh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heheh Nah itulah Yel, jangan sampai mileneal kehilangan identitasnya. Tak tahu lagi bahasa Ibunya. Ironiskan.

      Hapus
  2. Balasan
    1. Terima kasih Suhu, sebuah kehormatan telah bertandang kemari :))

      Hapus