Menembus Kabut Cikuray, Menemukan Pagi yang Menawaan di Langit Garut
Bersiap Menembus Kabut Cikuray |
Cikuray adalah candu. Mendaki gunung ini tidaklah mudah.
Track Cikuray sangat terjal dan panjang. Butuh kesabaran dan sangat menguji
ketahanan fisik untuk menggapai puncaknya. Jika ada istilah, indah
tapi tak ingin diulang, maka istilah tersebut tidaklah berlaku bagi Pendaki
Cikuray.
Sebab sekali kita menelusuri terjalnya track Cikuray, hal selanjutnya
adalah kerinduan untuk kembali mengulangnya. Maka yang terjadi adalah sebaliknya: “Cikuray itu berat tapi
aku ingin mengulang kembali”.
Kesan itulah yang saya dapatkan saat pertama kali mendaki
gunung dengan ketinggian 2.281 Mdpl di Jawa Barat ini. Sebuah pengalaman mengesankan
yang berkekalan dalam memori saya. Sejak hari itu pula, Garut mendapatkan
tempat yang istimewa di hati saya.
Sebenarnya niat untuk mendaki Gunung Cikuray telah
bersemanyam lama dalam diri saya. Tepatnya saat saya melamun seorang diri pada
hamparan Edelweis yang ada di Tegal Alun, Gunung Papandayan.
“Harus datang lagi nih
ke Garut, cobain tuh Cikuray,” ucap
teman saya itu. Lagi-lagi saya hanya tersenyum. Namun hari itu, tidak ada yang
tahu. Kalau saya sudah memendam rindu pada Cikuray.
Para Pendaki menuju Gunung Cikuray (Sumber: Garut Adventure) |
Niat itu baru terwujud pada awal Desember 2013. Berawal dari
perbincangan dengan Teni, yang merupakan rekan kerja saya di Majalah Tarbawi,
Jakarta. Karena hanya berdua, lalu Teni mengajak tiga teman lainnya yaitu Rana,
Wheny dan Adi. Namun menjelang keberangkatan, Rana gagal pergi karena kakinya
terkilir. Rana berlatih terlalu keras demi mempersiapkan fisiknya untuk
pendakian ini.
Tinggallah saya bersama yang lainya. Di mana kami semua
berasal dari daerah yang beragam. Saya dari Aceh, Teni dari Tasikmalaya, Adi
dari Klaten dan Wheny satu-satunya yang berasal dari Garut.
Saat itu sebagian dari kami telah berkumpul di Jakarta. Jadi
kami berangkat ke Garut dengan bus dari
Terminal Kampung Rambutan. Sementara Adi, menempuh perjalanan dengan kereta
untuk tiba di Garut.
Kami akhirnya berkumpul di Garut pada pagi hari. Kami sempat menikmati
bubur ayam di tepi jalan. Setelahnya, kami istirahat sejenak di rumah Aki Wheni di Jalan
Cimanuk, Garut Kota. Di rumah itulah, kami mengemas kembali keril dan
memantapkan lagi rencana pendakian ini.
Suatu Pagi yang Tenang di Garut |
Secara geografis Gunung Cikuray berada di Dayeuhmanggung, Kabupaten
Garut, Jawa Barat. Ada beberapa jalur yang bisa ditempuh untuk mendaki gunung
bertipe Stratovolcano ini, yaitu via Ciawu atau Pemancar,
Cikajang dan Bayongbong. Karena berbagai pertimbangan, kami kemudian sepakat
untuk mendaki Cikuray dengan menempuh jalur Pemancar.
Dari Garut Kota kami menuju Pemancar dengan naik angkot ke
arah Ngamplang. Lalu berhenti di Patrol.
Sesampainya di sini, kami harus naik ojek warga untuk naik ke atas yang
merupakan lokasi Basecamp Tower Pemancar.
Ongkos ojek ini lumayan yaitu Rp. 40 ribu sekali angkut.
Namun Teni mampu melakukan negosiasi dengan baik. Setelah ngobrol-ngobrol cukup
lama, ternyata pemilik ojek ini ada yang berasal dari Tasikmalaya, tanah
kelahiran Teni. Karena sesama orang Tasik, akhirnya kami mendapatkan potongan
harga yang lumayan, yaitu Rp. 30 ribu/orang.
“Enggak rugi kan, bawa orang Tasik kemari,” seloroh Adi.
Tubuh saya terguncang-guncang saat melawati jalanan berkrikil
dengan sepeda motor trail. Saya memegang erat-erat bahu Abang Ojek. Perjalanan
menuju Pemancar memang cukup menguji adrenalin.
Namun dalam ketakutan itu, mata kita dimanjakan dengan
perkebunan warga yang hijau. Seperti hamparan perkebunan teh yang menyejukkan
mata.
Hamparan Kebun Teh di Kaki Gunung Cikuray |
Sepanjang perjalanan menuju Pemancar, mata saya
berbinar-binar saat melihat Cikuray kokoh berdiri di depan. Cikuray tampak
angkuh menjulang ke langit. Gumpalan awan Cumulus menutupi sebagian puncaknya.
Dada saya berdegub, karena mimpi untuk mendaki gunung ini telah begitu dekat.
Kami tiba di Pemancar pada pukul 10 pagi. Saat itu terlihat
beberapa pendaki telah turun dari Cikuray. Karena pada umumnya orang-orang
mendaki pada hari Sabtu atau Minggu, lalu turun ke esokan harinya. Saat itu
kami mendaki pada hari Senin, sehingga praktis jalur pendakian terasa sepi.
Setelah melakukan registrasi di pos jaga. Kami pun berdoa
bersama untuk memulai pendakian ini. Tepat pukul 10:50 pagi, empat sekawan ini akhirnya
memulai langkah pertama mereka untuk menapaki Cikuray.
Pemandangan yang menyejukkan Mata di Basecamp Pemancar |
Berbekal tongkat kayu kami menelusuri lereng Cikuray. Hamparan
perkebuhan teh yang hijau masih memanjakan mata. Baru lima belas menit
berjalan, lalu perlahan-lahan kabut pun mulai turun. Jarak pandang menjadi
terbatas, sekaligus melenyapkan pemandangan yang menyejukkan itu. Kabut ini membuat perjalanan terasa begitu syahdu.
Perlahan kabut semakin tebal, pendakian ini pun semakin
menanjak. Sesekali kami berhenti untuk meregangkan otot. Setelah menelusuri
lereng, jalur pendakian mulai mengarah ke dalam hutan. Langit yang terang
berubah menjadi redup, sebab cahaya
matahari terhalang kabut dan rimbunan pohon. Kini, perjalanan kian menantang
karena kami telah masuk dalam hutan yang kian lebat.
Baru beberapa Menit Perjalanan Sudah Terasa Lelahnya |
Akar-akar pohon menjulur tak tentu arah di sepanjang track pendakian. Setelah masuk hutan
ini, nyaris kami tidak lagi menemukan track
yang landai. Maka benar kata orang-orang, mendaki Gunung Cikuray ini harus
sabar dan kuat. Karena jangan berharap ada bonus, istilah para pendaki untuk
permukaan yang datar, sepanjang track-nya.
Setelah 1,5 jam perjalanan
barulah kami tiba di Pos I. Saya langsung menghempaskan tubuh di tanah. Untuk
sampai di sini saja perjuangannya sudah luar biasa. Bayangkan, masih ada enam
pos lagi ke depan yang harus kami tuju.
Kami mengatur formasi kembali. Adi menjadi pemimpin
perjalanan, disusul Teni dan Wheny. Sementara saya berada di paling belakang
menjadi juru kunci. Jalur pendakian semakin menanjak. Sesekali kami harus
memegang akar pohon untuk bisa naik ke atas.
Mengabadikan Momen di Pos I |
Setelah satu jam perjalanan dari Pos I akhirnya kami tiba di
Pos II. Kami sempat bertemu pendaki lain yang sedang turun. Dari mereka, kami
bertanya berapa jauh lagi untuk sampai ke pos berikutnya.
Tepat pukul tiga siang, akhirnya kami tiba di Pos III. Di
sini kami beristirahat cukup lama. Sekaligus menjamak qasharkan salat. Hampir
satu jam kami di Pos III, tenaga pun telah pulih kembali.
Perjalanan dilanjutkan ke Pos IV. Baru beberapa menit
berjalan, gerimis pun turun. Membasahi jalur pendakian. Kian lama, bulir hujan
ini kian deras. Malangnya, hujan ini turun dalam kondisi kami yang tidak tepat.
Saat itu kami tengah melewati jalanan setapak. Tidak ada
posisi yang tepat untuk sekadar berteduh dan mengenakan raincoat. Saking lebatnya hujan, air yang turun di sela-sela
akar mengalir cukup deras.
Tubuh saya sudah menggigil kedinginan, karena baju dan celana
yang saya kenakan telah basah kuyup. Maka mau tidak mau, kami sepakat untuk
mengenakan raincoat di tengah hujan
lebat.
Setelah 40 menit mendaki, perasaan saya sedikit menghangat
karena akhirnya kami tiba di Pos IV. Hujan masih turun namun tidak begitu deras
lagi. Di sini kami istirahat sambil menikmati bacang.
Kabut tebal dan Track yang Terjal Telah Menjadi Karakteristik Gunung Cikuray |
Jujur, ini makanan paling nikmat yang pernah saya lahap. Mungkin
karena kondisi yang sangat lapar dan suasana di tengah hutan, serta diguyur
hujan pula. Maka apapun yang dilahap menjadi begitu nikmat.
Perlahan langit mulai gelap, maka kami harus bergegas menuju
Pos V. Ternyata jarak ke pos selanjutnya tidak terlalu jauh. Tiga puluh menit berjalan, kami pun tiba di
Pos V. Hal ini menjadikan kami kian
semangat, meskipun masih ada dua pos lagi yang harus kami tuju.
Basah Kuyup Diguyur Hujan Sepanjang Perjalanan |
Tampaknya tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Sesekali
bunyi petir menggelegar di langit, menjadikan pendakian hari itu cukup
mendebarkan. Kami semua larut dalam keheningan, nyaris tidak ada satupun yang
bersuara.
Bisa dikatakan saat itu hanya kelompok kami yang mendaki.
Maka apapun yang terjadi, kami sudah pasrah. Menyerahkan segalanya kepada Allah.
Jarum jam telah menunjukkan pukul enam sore saat kami tiba di
Pos VI. Artinya, tinggal satu Pos lagi di depan. Namun, kami mulai cemas karena
malam akan segera tiba. Pasti perjalanan akan semakin sulit.
Bermodal dua senter, kami mulai menembus gelapnya malam.
Bulir-bulir hujan terus menghujam tubuh. Pikiran saya sempat tak tentu arah,
bermacam pikiran aneh bermunculan. Saya sadar perjalanan ini tidak jauh lagi,
maka cepat-cepat saya tepis lagi pikiran-pikiran kacau itu.
Tantangan paling beratnya adalah, di tengah malam yang gulit
ini kami harus memanjat akar pohon untuk sampai ke atas. Tingginya bisa sampai
satu meter. Kami tidak punya pilihan lain. Hanya itulah jalur yang harus kami
lalui.
Di sisi lain, hujan telah membuat akar-akar pohon itu menjadi
licin. Di sinilah rasa kebersamaan begitu terasa, di saat paling sulit itu kami
saling membantu.
Karena awalnya jarak antar Pos tidak begitu jauh, maka saya
optimis kami akan segera tiba di Pos VII. Ternyata dugaan saya keliru, butuh
dua jam lebih perjalanan hingga akhirnya
kami tiba di Pos terakhir ini.
Maka begitu sampai di Pos VII, hati saya terasa lega. Pos VII
menjadi titik terakhir kami. Di tempat inilah kami mendirikan tenda.
Mengistirahatkan tubuh yang telah remuk redam. Apalagi esok pagi, kami harus
bergerak untuk summit. Menuju titik
paling tinggi dari Cikuray.
Pos VII Tempat Kami Berteduh |
Kami mendirikan dua tenda, saya bersama Adi. Sementara Teni
bersama Wheny. Sialnya, tenda milik Adi ini ternyata bocor. Malangnya lagi,
titik bocor itu berada tepat di ujung kaki. Tubuh saya sudah sangat lelah,
sehingga tak kuasa untuk memperbaiki kebocoran itu.
Akhirnya, saya pun pasrah. Tubuh saya pun sudah mati
rasa. Maka tetes hujan itu sudah tidak
terasa lagi. Lagi pula, pikiran saya sudah terbayang-bayang bagaimana suasana sunrise esok pagi? Dalam gelapnya malam
dan derasnya hujan, saya tersenyum membanyangkannya.
Terima Kasih Tuhan
untuk Pagi yang Menawan
Summit adalah salah satu fase pendakian
yang paling menarik. Inilah momen yang kami tunggu-tunggu. Semalam kami telah
sepakat, untuk melakukan perjalanan akhir menuju puncak itu pada pukul lima
pagi. Sebelum berangkat, kami tidak lupa
salat Subuh terlebih dahulu. Sekaligus berdoa, semoga Allah hadirkan pagi yang
indah hari itu.
Bersama Adi Menikmati Sunrise di Puncak Cikuray |
Dari balik-balik semak belukar kami keluar. Lalu terlihatlah
sebuah bangunan persegi yang merupakan penanda kami telah tiba di puncak Gunung
Cikuray.
Di Puncak, Perasaan Terasa Bahagia dan Lega |
Ada perasaan berbeda saat kami sampai di puncak. Ada perasaan
lega karena sebelumnya kami terus dikepung rimbunnya hutan. Lalu di sana, terlihatlah
dari kejauhan mentari mulai mengintip. Langit seperti merekah. Cahayanya menyingkap
gulita semalam.
Saya tak henti-hentinya bersyukur saat menyaksikan gumpalan
awan terhampar sejauh mata memandang. Pemandangan ini cukup menjadi penawar
untuk semua keletihan yang telah kami lewati.
Merah Putih Sampai Mati |
Sebaris pelangi juga tampak melengkung indah di ujung sana.
Menghiasai langit Garut. Indah sekali. Tuhan tampaknya baru saja menghadirkan
pagi yang menawan di Kota ini. Untuk masyarakat Garut yang akan memulai
aktivitasnya, untuk kami yang baru saja jatuh cinta pada Tanah Parahyangan ini.
Terima Kasih Tuhan Telah Izin Kami Menikmati Pagi yang Indah di Tanah Ini |
*Tulisan Ini Diikutsertakan pada Kompetisi Writingthon Jelajah Kota Garut
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar