Dohra Fitrisia: Merentas Jalan Linguistik Kuliner

 



Di Indonesia, kajian linguistik kuliner masih tergolong baru. Padahal bidang ilmu ini sangat penting untuk mengkaji dan melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi kuliner kita.

Jika ditelusuri lebih dalam, makanan dan bahasa memiliki keterkaitan yang erat dalam membentuk identitas kita sebagai manusia. Melalui kajian linguistik kuliner pula, kita dapat mengkonstruksikan kembali kearifan hidup di masyarakat yang perlahan mulai luntur.

Berangkat dari kegelisahan itulah, Dohra Fitrisia bertekad untuk menekuni irisan ilmu linguistik ini.  Berupaya merentas jalan studi linguistik kuliner di Indonesia.

Keputusan tersebut akhirnya mencatatkan nama perempuan kelahiran Lhokseumawe ini sebagai peneliti linguistik kuliner pertama di Indonesia. Disertasinya tentang kuliner tradisional dalam bahasa Aceh, seolah menyingkap tabir betapa luasnya khazanah bidang ilmu ini.

Cornelia Gerhadt dalam bukunya Culinary Linguistics menjelaskan, kajian linguistik kuliner ini terbagi atas enam bagian yaitu:  Comparative linguistics,  morphology and word formation, syntax and grammar,  word and meaning, spoken discourse dan food writing.



Dari enam bidang tersebut, tiga di antaranya telah dikaji oleh Dohra. Setiap bidang tersebut, ucapnya, memiliki fungsinya tersendiri. Misalnya, word and meaning, yang fokus pada penamaan setiap makanan.

Ada temuan menarik saat Dohra mengkaji penamaan makanan ini, yang kala itu ia fokuskan untuk kuliner di Aceh Besar saja. Saat itu dirinya berhasil menginventarisir 165 leksikon atau penamaan makanan di Aceh Besar.

Dari jumlah tersebut, ternyata ada dua jenis makanan tradisional Aceh yang telah hilang yaitu Subang Gadeng dan Pinto Angen. Keduanya terdengar asing. Dulunya, dua jenis makanan ini hanya disajikan untuk tamu penting atau raja.

“Kini, keduanya telah hilang. Karena tidak pernah dibuat lagi, lama-lama leksikon itu tidak diucapkan lagi. Anak-anak juga tidak lihat lagi, jadi apa yang bisa kita wariskan?” ujarnya.

Melalui kajian ini pula, dirinya menemukan latar belakang masyarakat dalam memberikan penamaan sebuah makanan. Kreativitas tersebut juga berkaitan erat dengan lingkungan dan kultur  yang berlaku di masyarakat.

Misalnya, mengapa ada sebagian makanan Aceh yang cenderung bertahan lama. Seperti sie reboh, alasannya karena dulu suasananya perang sehingga perlu makanan yang bertahan lama.

Termasuk pula bekal untuk calon jamaah haji yang kala itu berbulan-bulan di kapal laut. Lalu budaya masyarakat Aceh yang memuliakan tamu, atau dikenal dengan istilah Pemulia Jamee Adat Geutanyoe.

“Hal-hal seperti inilah, yang menjadikan  masyarakat Aceh kreatif menciptakan makanan yang bisa tahan lama,” ucapnya.

Begitu pula spoken discourse, yang kajiannya fokus pada tata karma saat makan bersama (commensality). Termasuk pula ketika menjamu, mempersilahkan untuk makan, mengakhiri makan dan lainnya.

Kala itu, Dohra berupaya mengkaji tradisi kenduri Maulid Nabi di Aceh Besar. Dalam risetnya tersebut, Dohra menjelaskan, betapa kayanya makna pada ungkapan atau metafora yang diucapkan dalam  setiap ritual makan tersebut.

“Kalimat yang diucapkan tersebut menyimpan pesan kesantunan, penghargaan, rasa hormat pada orang lain,” terangnya.

Selain itu, temuan menarik lainnya adalah,  bahwa saat ini hanya Aceh Besar yang masih mempertahankan tradisi Maulidnya dengan pakai Idang. Dan melarang menyajikan nasi kotak untuk mencegah nasi basi.

Selain itu, aturan ini adalah untuk mewujudkan kesetaraan sosial. Mengingat yang diundang dari berbagai desa. Sementara nasi kotak bisa berasal dari berbagai resto yang kelasnya berbeda.

Selanjutnya, kuah belangong yang merupakan menu wajib kenduri maulid itu, harus dibagikan kepada masyarakat sebelum Zuhur. Tujuannya, agar masyarakat dapat menikmati lebih dahulu menu khas maulid ini.

Lalu, saat kenduri maulid dimulai, anak-anak biasanya diberi makan terlebih dahulu agar nanti tidak menganggu.

“Pengaturan-pengaturan ini menunjukkan betapa bijaksananya masyarakat kita,” ucap Dohra.

Saat ini kajian linguistik kuliner Dohra masih berfokus  di wilayah Aceh Besar.  Maka dirinya menilai masih betapa luasnya kajian linguistik kuliner di daerah Aceh lainnya. Belum lagi di Indonesia secara luas, yang begitu kaya keragaman khazanah kulinernya.

Oleh karena itu, ia tidak ingin kekayaan khazanah kuliner ini lenyap begitu saja. Alasan inilah yang turut memotivasi dirinya untuk bersedia mendedikasikan hidupnya menekuni disiplin ilmu ini.  

Dohra pun sangat bersyukur, keputusannya untuk menekuni linguistik kuliner ini telah memberikan banyak hikmah bagi dirinya. Ia semakin memahami, bahwa dalam setiap makanan yang tersaji, sejatinya menyimpan makna atau ceritanya tersendiri.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

1 comments:

  1. Wah, menarik sekali cabang ilmu ini. Kak Aini minta kontak Bu Dohra ini ya, Nu...

    BalasHapus