Pertama kali mendengar istri hamil, saya bahagia sekali. Saat
itu menjelang subuh, istri saya berbinar-binar saat mengatakan dua garis sebagai
penanda itu menyala. Saya memeluknya. kami larut dalam kebahagiaan. Alhamdulillah, saya sangat bersyukur
Allah menjawab doa kami ini di usia pernikahan yang beranjak 9 bulan. Dua garis
itu memberikan berlapis kebahagian bagi saya, karena menandakan saya akan segera menjadi ayah.
Pagi itu, sebenarnya kami berencana pergi ke Bandung dan
Jakarta. Saya ingin membawa istri pergi melihat suasana kota yang baru. Ini
adalah impiannya yang ia simpan diam-diam. Istri memang tak pernah pergi
terlalu jauh. Penantian yang panjang akan kabar hamil ini, juga menjadi
perhatian saya. Maka saya pikir, tak ada salahnya saya ajak ia untuk melihat
sisi indah kehidupan yang lain.
Namun, karena mendengar bahwa dirinya hamil. Saya pun menjadi
suami siaga. Di Bandung kami tidak banyak jalan. Begitu pula saat di Jakarta.
Istri lebih banyak menghabiskan waktunya istirahat di hotel. Kondisi
kandungannya membuat ia bedrest. Apa
boleh buat, rencana perjalanan pun segera direvisi.
Sesampainya di Aceh, saya segera membawa istri ke dokter. Ternyata
kehamilannya sudah memasuki usia 6 minggu. Trisemester pertama inilah yang
membuat saya harus lebih siaga. Pada kondisi seperti ini, istri memang tak
boleh lelah. Kesehatannya harus dijaga. Begitulah pesan dokter yang kemudian
mengubah rutinitas hidup kami.
Hari-hari kehamilan ini adalah hari yang penuh perjuangan
bagi istri. Tubuhnya melemah, ia kerap muntah, belum lagi pusing menjelang
malam dan pagi. Semua hal yang dialaminya itu membuat saya merenung. Ternyata
beginilah perjuangan ibu kita dulu saat mengandung.
Pernah suatu kali, istri menangis. Sontak saya terkejut. Saya
kira ia kesakitan, tapi ternyata ia teringat ibunya di rumah. Terbayang
bagaimana hari-hari yang penuh berat ini dilalui ibunya saat mengandung dulu.
Meskipun demikian, kami tidak ingin terlalu larut dalam
keletihan. Hari-hari kehamilan ini justru menjadi romantisme baru dalam hidup
kami. Seperti saat memilih nama-nama yang memiliki makna untuk disematkan pada
anak kami nanti. Atau saat harus terbangun di malam hari, karena istri merasa
lapar. Belum lagi keinginan-keinginannya untuk makan sesuatu, namun begitu tiba justru ia hanya makan sedikit. Dan saya
yang menyelesaikan sisanya.
Bagi saya, hal-hal seperti ini saya jalani sepenuh hati. Karena
saya menganggapnya Allah sedang melatih saya. Untuk menjadi sabar dan peduli. Agar
saya menjadi pribadi yang lebih siap saat dititipkan amanah baru nantinya.
Ya, menjadi ayah adalah episode baru yang akan saya lalui.
Saya tak tahu harus memulainya dari mana. Tapi membanyangkannya saja sudah
menghadirkan kebahagiaan tersendiri.
Saya memahami, perjuangan ini masih panjang. Tanggal 12 bulan
12 adalah prediksi paling lambat hari kelahiran itu. Maka yang bisa saya
lakukan adalah, meringankan beban istri dengan mengambil alih segala pekerjaan
rumah tangga. Memastikan kondisinya tetap sehat. Dan tentu saja, terus berdoa
semoga bayi dalam kandungan sehat dan istri serta bayi kami ini selamat sampai
hari kelahiran itu tiba.
Setiap harinya, kami terus menimbun rindu pada Sembilan Purnama. Yaitu, hari saat Allah karuniakan amanah cinta ini untuk melengkapi keluarga kecil kami. Aamiin ya Allah...
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar