Sebagai generasi yang lahir di
bawah tahun 90-an, saya bersyukur karena masa itu kami lebih banyak menghabiskan
waktu bermain di alam khususnya sungai. Saya lahir di Kampung Durian, sebuah
desa kecil di Aceh Tamiang. Kampung kami adalah salah satu kampung yang dilewati
aliran sungai Tamiang.
Dengan kondisi geografisnya yang
demikian, maka wajar saja kalau anak-anak kampung Durian hampir semuanya pintar
berenang. Dalam sehari kami bisa mandi empat kali. Kami baru siap mandi kalau
mata sudah memerah, atau mendengar teriakan marah ayah kami di tepi sungai.
Masa itu air sungai Tamiang
sangat jernih. Tak perlu kaca mata selam untuk mencari ikan serta udang-udang
kecil di celah-celah batu. Bahkan dalam setahun, kami mengenal istilah “Raya
Udang”, yaitu musim ketika udang banyak sekali di aliran sungai ini. Jika pagi
hari ibu-ibu sudah ramai di bagan-bagan sungai untuk mencuci pakaian. Sementara
anak-anaknya dibiarkan kegirangan bermain air.
Masa itu, orang Tamiang terbiasa
meneguk air sungai Tamiang tanpa rasa takut menjadi sakit perut. Maka saat itu Sungai
Tamiang, seperti sungai Eufrat dan Tigris dalam cerita peradaban Mesopotamia,
sungai ini benar-benar telah menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Tamiang.
Namun setelah tahun 2000-an,
semua cerita ini berubah. Air sungai Tamiang telah menjadi keruh. Tak ada lagi
garis pantai di bibir sungai tempat kami bermain. Masyarakat pun mulai jarang
mengkonsumsi air sungai karena warnanya telah menjadi kecoklatan. Cerita “Raya
Udang” tahunan itu pun lenyap. Tak lagi terulang.
Cerita paling pilu adalah saat
banjir besar melanda Aceh Tamiang pada tahun 2006. Saya bersama penduduk
Kampung Durian lainnya mengungsi di atas bukit Kuburan Cina. Inilah tempat
paling tinggi di kampung kami. Di atas bukit itu, saya berdiri menyaksikan
sungai Tamiang yang tak lagi ramah. Airnya meluap. Menjadikan kampung kami bak
kolam susu coklat. Saya merinding menyaksikannya.
Lalu, pada aliran sungai yang
deras tersebut banyak batang kayu berukuran besar turut hanyut ke hilir.
Sebagian remaja Kampung Durian, memberanikan diri untuk berenang dan mengambil
batang-batang kayu tak bertuan itu.
Siapapun bisa menebak? Dari mana
datangnya balok-balok kayu ini. Ya gelondongan ini berasal dari hulu Tamiang
yang merupakan sumber mata air dari sungai Tamiang. Telah menjadi rahasia umum
kalau pembalakan hutan di hulu Tamiang ketika itu semakin menjadi-jadi.
Banjir Besar di Aceh Tamiang pada 2006 (Foto by: Arief Ariadi/EPA) |
Saya sendiri sering melihat boat
menarik gelondongan kayu seperti itu melintasi sungai Tamiang. Ironisnya, masyarakat
saat itu terbiasa dengan pemandangan demikian. Bahkan pemerintah seolah menutup
mata. Padahal tanpa mereka sadari, yang mereka saksikan itu adalah ancaman yang
siap mengintai mereka kapan saja.
Tapi begitulah? Tak ada yang
menyadari karena minimnya pemahaman masyarakat akan pentingnya konservasi. Orang-orang
menebang pohon tanpa merasa bersalah. Saya ingat, dulu saat harga sawit di Aceh
Tamiang sedang tinggi. Maka masyarakat pun ramai-ramai mengalihfungsikan
lahannya untuk menanam kelapa sawit. Mereka menebang kebun karetnya lalu
menggantikannya dengan bahan baku minyak goreng ini. Tak peduli pada dampak
lingkungan setelahnya.
Cerita ini bukan omong kosong sebab
ayah saya sendiri sempat terjebak dalam pemikiran yang keliru ini. Karena
ajakan orang-orang kampung, ayah pun rela menebang pohon karet yang telah
tumbuh di tanah kami bertahun-tahun.
Kini, Aceh Tamiang memang dikenal
dengan kawasan dengan perkebunan kelapa sawit terbesar di Aceh. Begitu kita
masuk perbatasan Aceh Tamiang – Sumatra Utara, maka yang pertama kali kita
saksikan adalah hamparan kelapa sawit. Tapi status tersebut tidak serta merta
menjadikan masyarakat Kabupaten ini sejahtera. Karena fakta pahit lainnya,
sebagian besar perkebunan kelapa sawit di Aceh Tamiang adalah milik swasta.
Hamparan perkebunan kelapa sawit seluas mata memandang di Aceh Tamiang |
Badan Pusat Statistik merilis,
setidaknya ada 25 perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Aceh Tamiang yang
sebagiannya beroperasi di hulu Tamiang. Padahal ini merupakan kawasan yang
masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), yang berperan penting dalam
mengatur tata air.
Saat ini tanah di Tamiang pun
menjadi rusak. Karena lahan yang telah ditanam kelapa sawit tidak bisa
digunakan lagi. Tanahnya menjadi gembur sehingga tak kuasa menahan air. Inilah yang
kemudian menjadi salah satu penyebab banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang
2006 silam.
Konservasi Adalah Tanggung Jawab Bersama
Maka bicara konservasi alam,
sejatinya adalah bicara tanggung jawab kita bersama. Karena terjaganya kelestarian
lingkungan sangat terkait dengan masa depan kita. Sebab jika kita terus mencoba
tidak peduli terhadap kerusakkan lingkungan ini, sama maknanya kita sedang
menyiapkan bom waktu untuk generasi selanjutnya. Bukan tidak mungkin, suatu
saat nanti anak-anak kita menjadi korban bencana alam. Suatu musibah akibat dari sikap
acuh kita saat ini.
Kini, sungai Tamiang memang tak
seperti dulu lagi. Airnya yang tercemar menjadikan sungai ini tak menarik lagi.
Semua cerita nostalgia di sungai terpanjang Negeri Bumi Muda Sedia ini pun
tinggal kenangan. Terkubur dalam iming-iming pertumbuhan ekonomi yang semu.
Meskipun demikian, bukan berarti
cerita ini benar-benar usai. Kita masih punya harapan untuk mengembalikan lagi kebanggan
anak-anak Aceh Tamiang terhadap sungai mereka. Oleh sebab itu, kesadaran
pentingnya konservasi harus selalu hadir dalam benak kita.
Mulai sekarang kita harus belajar untuk menjadi lebih peduli, belajar untuk menjadi lebih berani meneriakkan semangat konservasi. Hanya dengan cara itu, mudah-mudahan kerusakan alam di tanah Tamiang tak terulang lagi.
Mulai sekarang kita harus belajar untuk menjadi lebih peduli, belajar untuk menjadi lebih berani meneriakkan semangat konservasi. Hanya dengan cara itu, mudah-mudahan kerusakan alam di tanah Tamiang tak terulang lagi.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Blog Saman Pengawal Leuser 2017
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
Semoga sungai Tamiang bisa kembali seperti dulu lagi ya bg, ngeri juga lihat banjir besar tahun 2006 silam ya. Itulah ketika kita tidak bersahabat dengan alam maka, alaam pun akan murka.
BalasHapusAamiin, lebih sepekan kami mengungsi di bukit Kuburan Cina @_@
HapusSaya berharap Tamiang bisa mengatasi masalah serupa di masa mendatang ya.
BalasHapusMudah-mudahan Bang, ayo #SadarKonservasi! :D
Hapus