Segenggam Inspirasi dari Pendakian Gunung Rinjani


Gunung Rinjani adalah impian para pendaki. Saya yakin, sekalipun semua gunung di Indonesia telah kita daki namun melewatkan gunung di Nusa Tenggara Barat ini, rasanya tetap ada yang kurang. Kegelisahan itulah yang menyelimuti hati saya pada suatu sore yang dingin di Jakarta.

Gerimis membasahi Ibu Kota Jakarta sore itu. Dari lantai tiga ruang kerja, saya menatap bulir-bulir hujan yang merambat pada dinding kaca. Sambil menyeruput kopi, tiba-tiba kerinduan untuk menapaki Rinjani hadir kembali. Mendesis seperti gerimis di luar sana.

Keinginan mendaki Rinjani sebenarnya sudah lama bersemayam dalam diri saya. Namun, karena jaraknya yang sangat jauh, biaya yang lumayan serta belum adanya teman yang mau diajak traveling ke Lombok, maka kerinduan itu hanya sebatas angan-angan.

Sore itu, saya pun browsing ­foto-foto Gunung Rinjani di internet. Setidaknya, dengan melihat keindahan Rinjani kerinduan saya sedikit terobati. Ah keliru, foto-foto yang muncul malah membuat saya semakin kangen Rinjani.

Danau Segara Anak yang tenang, bunga-bunga edelweis yang tumbuh di lereng gunung, Gunung Barujari yang dipayungi langit biru serta pose para pendaki di puncak Rinjani. Semua tampilan itu seolah telah berkonspirasi, mendesak saya untuk segera melihatnya langsung.

Rinjani dengan segala pesonanya

Lalu entah mengapa, tiba-tiba terlintas di benak saya. “Mengapa tidak mencari teman saja di media sosial?”
Aha, mengapa ide ini baru terpikirkan sekarang?

“Ada rencana yang mau ke Rinjani dalam waktu dekat?” Tweet saya di akun medsosnya komunitas pendaki gunung.

Ada banyak balasan, namun semua juga masih seperti saya. Baru sebatas rencana. Lalu saya tertarik pada satu akun bernama Fahmi yang tampaknya lebih siap. Sebab ia sudah memesan tiket pesawat bersama temannya, Sidiq.

Saya pun memesan tiket pesawat dengan mencocokkan tanggal serta nomor penerbangan yang akan mengangkut kami ke Lombok. Jujur saja, ini adalah rencana traveling paling berisiko yang pernah saya lakukan. Perjalanan yang jauh seperti ini justru saya lakukan bersama orang yang asing. Semuanya hanya modal kepercayaan.

Di Bandara Soekarno Hatta, barulah saya benar-benar bertemu Fahmi dan Sidiq. Hanya butuh waktu singkat untuk kami saling kenal. Mungkin karena kami memiliki hobi yang sama, kami pun cepat akrab.

Jarum jam tepat menunjukkan pukul 12.15 WITA saat pesawat kami mendarat di Bandar Udara Internasional Lombok. Setelahnya kami langsung menuju Sembalun, yang letaknya di kaki Rinjani. Tempat inilah yang menjadi titik awal pendakian kami. Saya berdebar karena telah begitu dekat dengan Rinjani. Mimpi yang telah lama bersemayam itu akan segera tunai.

Berpose dengan background Sembalun 
Di pos penjagaan, kami menyiapkan diri sebelum pendakian. Barang bawaan dibagi. Saya khusus membawa logistik seperti makanan, nesting serta obat-obatan.

Pukul empat sore, diawali dengan membaca doa, kami pun memulai pendakian. Selangkah demi selangkah kami meninggalkan Sembalun. Menelusuri kebun-kebun warga, semakin jauh  melangkah jalan semakin sunyi. Naik turun perbukitan. Hamparan rumput yang hijau menjadi pemandangan yang menenangkan.

Saat langit mulai gelap, saya mulai gelisah karena kami belum juga sampai di pos 1 sementara hujan mulai turun.

“Ini benarkan track-nya?” Saya mulai bimbang.
 Sebab hari itu kami memang tidak membawa guide ataupun porter. Kami berjalan hanya mengikuti jejak para pendaki sebelumnya. Selanjutnya, hanyalah sentuhan firasat.

“Mudah-mudahan betul Bang,” Fahmi tertawa. Saya menghela napas, pasrah.

Di balik raincoat saya terus menapaki jalan dengan penuh keyakinan. Hujan mulai turun dengan derasnya. Sesekali petir menggelegar seolah menggertak kami untuk kembali pulang.

Kami terus berjalan dengan penuh keheningan. Menapaki track yang basah. Tubuh kami sudah menggigil sehingga tak ada yang mau bercerita untuk sekadar menghangatkan suasana.

Hingga akhirnya.

“Pos Satuuu!,” teriak Sidiq, memecah keheningan.

Saya sumringah saat melihat sebuah pondok kecil. Di atasnya berdiri sebuah tenda. Ada dua pendaki yang saat itu bermalam di sana. Melihat kami yang sudah basah kuyup, mereka pun berniat untuk menurunkan tendanya agar kami bisa berteduh di pondok tersebut.

Dengan halus, Fahmi menolaknya.

“Bener nih Bang,” pendaki yang tubuhnya jangkung memastikan lagi.

“Iya Bang, kami nge-camp di pos selanjutnya saja,” ujar saya.

Saat itu saya merasakan betapa kuatnya ikatan emosional para pendaki. Solidaritas sesama pendaki yang katanya terjalin erat, saat itu benar-benar terbukti. Meskipun tubuh saya menggigil, tapi pertemuan singkat sesama pendaki malam itu mampu membuat jiwa saya menghangat.

Pukul 11 malam, akhirnya kami tiba di Pos III. Di sanalah kami bermalam, mengumpulkan kembali tenaga yang hilang. Saya sadar, perjalanan ini masih jauh. Bahkan belum setengah perjalanan pun. Tapi sejauh ini, saya sudah merasakan begitu banyak pelajaran.

Maka malam itu, meskipun tubuh begitu lelah, tapi mata saya sulit sekali terpejam. Saya tak sabar untuk melanjutkan perjalanan esok. Saya memperhatikan wajah Sidiq yang sudah tertidur pulas. Tak lama kemudian, Fahmi memadamkan  lampu yang menggantung di tengah tenda.

Dalam gulita saya tersenyum, bersama suara hujan yang terus jatuh di atas tenda.

Pendakian ini semakin menyenangkan. Saat kami bertemu sekelompok pendaki yang diketuai oleh Bang Eric. Hujan tadi malam menjadi tema cerita awal perkenalan. Sama seperti kami, mereka pun terpaksa membangun tenda di tengah perjalanan.

Menembus Kabut Rinjani
Kami baru bertemu hari itu, tapi rasanya seperti teman lama yang baru berjumpa kembali. Kami langsung akrab. Bang Eric pun tersenyum saat saya tertatih-tatih menapaki Tanjakan Penyesalan. Track menanjak yang rasanya tak ada habis-habisnya.

“Ayoo jangan menyerah!” Teriaknya memberi semangat.

Di sini, kebersamaan memang terasa nyata. Kami betul-betul larut dalam suasana. Saat istirahat kami saling bertukar makanan. Bang Eric menawarkan sekotak jus miliknya. Kami meminumnya secara bergantian.

Kami juga saling bertukar cerita. Menariknya, sesederhana apapun cerita selalu mengesankan. Seperti cerita teman Bang Eric (yang saya lupa namanya), tubuhnya tegap dan wajahnya sangar. Namun ironisnya, ia hampir saja tak jadi berangkat ke Rinjani karena istrinya tak mengizinkan.

Di bawah pohon cemara, kami tak kuasa menahan tawa saat ia bercerita harus melakukan hal-hal bodoh demi mendapatkan izin sang istri.

“Seberat-beratnya naik gunung, tetap yang paling susah menaklukkan istri, kalian buktikan sajalah nanti,” simpulnya yang langsung meledakkan tawa kami lagi.

Setiap pendaki adalah teman baru
Pukul lima sore kami tiba di Plawangan. Inilah etape terakhir sebelum kami summit, menuju puncak Rinjani. Dari Plawangan, nun jauh di sana tampaklah Sembalun yang dinaungi awan tipis. Tak terasa saya telah melangkah sejauh ini. Saya merasa sangat bersyukur, karena sejauh ini Allah masih memberikan saya kekuatan.

Danau Segara Anak juga tampak begitu teduh. Pohon-pohon cemara, edelweis, kabut tipis. Semuanya tampak begitu harmoni. Saya tak henti-hentinya bersyukur karena bisa menyaksikan pemandangan alam yang demikian.

Plawangan, sore itu...

Ujian terberat dari pendakian Rinjani akhirnya tiba juga. Pukul 1 dini hari, semua pendaki yang ada di Plawangan keluar dari tendanya. Kerlap-kerlip headlamp para pendaki menghiasi Plawangan. Saya mengencangkan jaket. Menguatkan kembali tekad. 

Para pendaki tampaknya sudah siap untuk menapaki lereng Rinjani yang curam. Inilah track yang harus dilalui untuk sampai ke puncak Rinjani. Jujur, saya sempat menggigil saking takutnya saat menyadari jalur itu hanya selebar dua meter. Track yang berpasir membuat langkah semakin berat.

Sementara di sisi kirinya adalah jurang yang curam. Sedangkan sisi lainnya adalah kawah Rinjani yang menganga. Langkah saya semakin berat karena harus menjaga keseimbangan dari tiupan angin yang kencang. Selain itu, saya juga harus berjuang untuk melawan rasa takut dalam diri sendiri.

Setelah 7 jam perjalanan melewati track “mematikan” tersebut, akhirnya dada saya berdebar saat menyaksikan apa yang selama ini hanya menjadi impian. Ya, tepat di hadapan saya tampaklah Puncak Rinjani.

Finally, Puncak Rinjani
Saya menghempaskan tubuh di pasirnya yang dingin. Di ketinggian 3.726 Mdpl ini, saya memandang langit yang biru lalu perlahan memejamkan mata.  Meresapi perasaan yang bercampur aduk dalam dada, yang kemudian bermuara pada satu rasa syukur yang mendalam.

Pendakian Rinjani memang cukup melelahkan, namun ada begitu banyak inspirasi yang saya dapatkan. Tentang kesetiakawanan, nyatanya kebersamaan, serta  tekad pantang menyerah dalam mewujudkan mimpi. Segenggam inspirasi ini tak akan pernah saya temukan jika hanya berdiam diri di rumah.

Bersama  hingga Puncak
Rinjani telah membuka mata saya. Segenap inspirasi yang saya temukan di sana, menjadikan saya kian candu pada dunia traveling. Kini, saya pun lebih berani merencanakan list destinasi impian. Sejauh apapun itu.

Apalagi sekarang telah ada Skyscanner, yang memudahkan saya dalam memantau harga pesawat.  Skyscanner juga bisa menyajikan ratusan situs penjualan tiket pesawat. Fitur ini sangat membantu saya dalam menyusun rencana perjalanan.  Tiket pesawat yang murah bisa saya pesan jauh-jauh hari, lalu mencocokkannya pada waktu yang tepat untuk traveling.

Terima kasih Rinjani, untuk segenggam inspirasi ini
Rinjani telah mengajarkan saya banyak hal. Untuk berani bermimpi, berani menjelajahi destinasi impian. Sebab saya yakin, dalam setiap traveling selalu ada inspirasi baru yang kita temukan.













Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

31 comments:

  1. Keren nu, indah, inspiratif. Jadi pengen naik gunung, eh tapi, ga mudah ya dapat ijin istri, hehe

    BalasHapus
  2. Yok bang naik gunung lagi kita, kayak dua tahun lalu :D
    Seru tulisannya :D

    BalasHapus
  3. Baca ini jadi pengen liat rinjani secara langsung.. Izin suami jg sama sulitnya, sepertinya ya nu hehe.. ��

    BalasHapus
  4. luar biasa panorama Gunung rinjani...

    BalasHapus
  5. inspiratif bro..jadi pingin nyoba mendaki rinjani juga ni

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berangkat Bro, selaku pengusaha properti tentu mampu :))

      Hapus
  6. Tulisannya semanis Gunung Rinjani..

    BalasHapus
  7. biar cepat naik grid kita harus naik rinjani sekali lagi..

    BalasHapus
  8. Terima kasih ya sudah ikutan Blog Competition "Aha Moments" Skyscanner Indonesia. Good luck :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin...

      Terima kasih Bang, suatu kehormatan dikunjungi blogger keren :D

      Hapus
  9. Jejak. Terima kasih sudah berpartisipasi. :)

    BalasHapus
  10. Balasan
    1. Jalanlah Tina, mumpung masih singel :))

      Hapus
    2. Jangan mau sendirian Tina. Bang Ibnu enak udah ada Cut dek bak samping.
      Tin pg ma cut Bang aja nanti.
      😊

      Hapus
  11. Nu, sejak kapan ente suka mendaki gunung... tapi ini keren abizzzz... sumpah!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejak merantau di Ibu Kota bang :D
      Ayo naik gunung bang Ariel...!

      Hapus
  12. Balasan
    1. Yah, di sini Syu Pilih nama Ibnu Syahri Ramadhan :D
      https://c2livexskyscanner.kickoffpages.com/

      Hapus
  13. duhh bang, kok enak kali ya bisa menginjakan kaki di Rinjani. Mau banget main kesana dan tahun depan Insya Allah bisa terlaksana..

    Salam Dongengtravel

    BalasHapus