Saman Telah Membesarkan Hati Rajab Bahry

Rajab Bahry (Foto Istimewa)
Hari-hari paling berat bagi Rajab Bahry adalah saat dirinya tak lagi menarikan Saman. Puluhan tahun ia mendedikasikan hidupnya pada Saman. Rajab pun harus berbesar hati, saat Saman harus berhenti di garis keturunannya sendiri.

Rajab Bahry tidak ingat kapan pertama kali ia belajar Saman. Sebab sejak kecil ia sudah terbiasa bermain Saman. Di balai-balai desa ia berlatih. “Seperti orang Aceh makan plik u, siapa yang ingat pertama kali memakannya?” Ujarnya. 

Saman adalah kebanggan dari masyarakat Gayo. Maka di mata Rajab Saman tak sekadar tarian.
“Dulu, kalau orang Gayo tidak bisa bermain Saman. Rasanya ada yang kurang,” ungkap lelaki kelahiran 30 Desember 1955 ini.

Darah penari Saman telah mengalir dalam diri Rajab. Ayahnya adalah penari Saman begitu pula tiga saudara lelakinya. Hampir seluruh hidupnya melekat pada Saman. Saman pula yang membawa dirinya di hadapan presiden Soeharto, hingga menapakkan kaki di Amerika.

Mendengarkan cerita hidup Rajab Bahry tentang Saman di ruang kerjanya (Foto by: Syahri Afrizal)
Rajab bercerita, meskipun Saman telah menjadi keseharian masyarakat Gayo, namun orang luar baru mengenal tarian yang ditetepakan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda ini tahun 1972, yaitu saat pelaksanaan PKA ke II.
Saman ketika itu menjadi tarian favorit. Menteri Penerangan kala itu Budiardjo sampai terpesona melihat harmoninya gerakkan penari Saman.

“Di Aceh itu orang menarinya sampai seribu!” Rajab menirukan ucapan Boediardjo. Sejak itulah Saman dikenal sebagai tari tangan seribu. “Bukan seribu tangan ya!,” tegas Rajab.

Lalu saat peresmian Taman Mini di Jakarta tahun 1974. Para penari Saman di Aceh Tenggara diundang. Ibu Tien Soeharto begitu kagum melihat eksotisnya tarian ini. Saman pun semakin dikenal publik.
“Waktu itu saya belum ikut, abang saya yang ikut,” kata Rajab.

Tahun 1975 barulah kesempatan datang kepada Rajab. Saat itu Pemerintah Pusat meminta 30 orang penari untuk tampil pada peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 30 di Istora Senayan. "Padahal Saman itu semestinya ganjilkan?" Selanya.

Ada cerita menarik kala itu,  yaitu pihak panitia sengaja merahasiakan jumlah penari yang akan dibawa ke Jakarta. Maka Rajab dan teman-temannya terus berlatih tanpa kepastian. Setiap akan berlatih mereka terlebih dahulu pergi ke studio foto milik orang Gayo yaitu Ceding Ayu. Sebab di sanalah diumumkan nama-nama yang terpilih.

“Kalau ada nama kalian di dinding, nah pergilah latihan,” kenang Rajab.

Hingga minggu terakhir latihan, barulah rahasia ini diumumkan. Rajab sampai bengong, ia hampir tak percaya namanya tertulis di dinding tersebut. Itulah pertama kalinya Rajab tampil di tingkat nasional dan disaksikan oleh Presiden Soeharto.

“Perasaan saya waktu itu gugupnya bukan main, foto saya macam orang penakut, takut salah,” ungkapnya.


Sejak hari itu Rajab menjadi pemain inti Penari Saman Aceh Tenggara. Ia berulang kali tampil di pentas nasional, seperti Festival Tarian Rakyat tahun 1977 dan Festival Tarian Internasional tahun 1978.

“Jadi waktu masih nganggur, saya sudah tiga kali ikut mewakil Aceh pada acara Saman tingkat nasional,” ucapnya sambil tertawa.

Sejak itu pula Saman tak terpisahkan dari hidup Rajab. Bahkan saat kuliah di Banda Aceh Rajab selalu tampil di Taman Budaya. Tahun 2012 Rajab kembali dipercaya tampil di Hawai University mewakili Unsyiah dalam kegiatan Muhibbah Seni.

Rajab Bahry saat tampil di Hawai University, Amerika.

Ternyata, itulah terakhir kalinya Rajab menarikan Saman. Kondisinya fisiknya yang lemah menjadikan Rajab tak segesit dulu lagi. Bahkan, saat Pemerintah Gayo Lues memintanya secara khusus untuk tampil memecahkan  rekor 10.000 penari Saman beberapa waktu lalu. Rajab dengan halus menolaknya.

“Ini mau pecahkan rekor, lalu tiba-tiba saya tumbang. Bisa negatif rekornya, kan repot?” Ujarnya.

Meskipun tak lagi menarikan Saman, kecintaan Rajab pada Saman tak pernah hilang. Ia selalu bersedia memberikan informasi kepada siapapun yang ingin bertanya tentang Saman. Rajab juga telah menulis konsep orsiniltas Saman, tulisan tersebut telah dibagikan oleh Pemda Gayo Lues ke masyarakat agar Saman terus lestari.

Atas semua dedikasinya pada Saman. Ternyata diam-diam Rajab menyimpan kerinduan lain yaitu masa depan Saman dalam garis keturunannya.

“Diturunan saya sendiri. Stop! Saman tidak ada lagi,” ungkapnya.

Hal ini tidak lepas bahwa istrinya adalah orang Minang, dan kini bersama tiga orang anaknya menetap di Jakarta, sehingga Rajab harus berbesar hati bahwa tak ada keturunannya yang menari Saman.

“Sering saya menangis kalau lihat anak-anak muda menari Saman. Oh, andaikan itu anak-anak saya,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Diam-diam Rajab Bahry menyimpan kerinduan lain pada Saman
Maka Rajab terus berjuang agar Saman tak hilang. Ia senang jika saat ini Saman telah dikenal luas, dan siapapun kini bisa menarikan Saman. Menurutnya, Saman bisa seperti ini karena disenangi banyak orang.

Hanya saja, Rajab berharap Saman tak hilang di tanah asalnya sendiri yaitu Gayo Lues. Begitu pula nilai-nilai yang terkandung pada Saman itu sendiri. Sebab Rajab khawatir, di dunia yang makin global sekarang sikap pragmatis menjadi ancaman rusaknya nilai-nilai Saman.

“Sekarang kalau mau tampil saya dibayar berapa? Maka orang menilai Saman itu tidak lagi seperti dulu. Makanya waktu festival Saman di PKA dulu jurinya saya. Haruslah saya kembalikan ke dasar,” ujarnya.

Kegelisahan inilah yang menyelimuti hati Rajab. “Maka banyak orang menilai, Saman itu tidak seperti dulu lagi,” ujarnya.

Untuk itulah, saat Rajab menjadi Juri Festival Saman pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) dulu, ia pun berupaya mengembalikan Saman ke dasarnya.  Rajab menuliskan konsep Saman yang sebenarnya lalu mengirimkankannya ke daerah-daerah termasuk ke Gayo Lues.

“Saya berusaha mengembalikan Saman itu seperti Saman yang asal, sehingga anak-anak itu tahu yang aslinya Saman itu seperti apa?” ungkap Rajab.

Ironisnya, Tim Gayo Lues saat itu hanya berhasil meraih juara tiga. Penyebabnya, karena urutan tarian Saman mereka keliru.

“Saya sudah buat dan kirimkan aturannya ke Gayo Lues. Berartikan mereka sudah lihat tapi tidak sesuai.  Urutan mereka salah. Gohlom (sebelum) Allahu Akbar, sudah Al fatihah,” kata Rajab.

Puluhan Tahun Mendedikasikan Hidupnya pada Saman
Niat baik Rajab untuk mengembalikan Saman seperti asalnya, memang tak selalu mendapatkan sambutan baik. Rajab kerap mendapatkan tudingan negatif oleh orang Gayo Lues sendiri. Apalagi ketika ia mengajarkan Saman kepada orang-orang non Gayo Lues.

“Kenapa kamu ajarkan Saman kepada orang lain, nanti lebih hebat mereka daripada kita?” Rajab menirukan kalimat seseorang yang memarahinya.

Namun bagi Rajab, tudingan seperti itu dianggapnya angin lalu saja. Kecintaan Rajab pada Saman telah membesarkan hatinya. Karena menurutnya, yang paling penting saat ini adalah Saman tidak boleh hilang. Seperti yang terjadi pada garis keturunannya.


Belajar Kebesaran Hati dari Seorang Rajab Bahry




Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

4 comments:

  1. Melestarikan budaya itu memang penting
    tidak harus menunggu nanti

    BalasHapus
  2. Semoga semangat ini dapat turun ke anak muda jaman now ya Pak Cik. Kadang miris lihat budaya menghilang terus. Kalau di sini, banyak orang nariin Saman, tapi asal-asalan sebab mereka gak ngerti. Mungkin bagus kalau Pak Bahri ini buat buku tentang Saman.

    BalasHapus